9

3 1 0
                                    

Pagi itu Hugo berlari santai pengelilingi kompleks perumahannya. Baju kaus dan celana pendeknya mengekspos tubuhnya yang padat dan berotot. Berpasang-pasang mata yang ia lewati tampak terpesona dengan tubuh serta wajah yang ia miliki.

"Hai Hug," sapa seseorang.

Hugo memelankan langkahnya saat mendekati orang tersebut. "Hai Jim."

"Aku jarang melihatmu akhir-akhir ini," ujar Jimmy seraya menahan langkah anjingnya. "Semuanya baik-baik saja?"

Hugo tersenyum kecil. "Semuanya baik-baik saja. Aku hanya sedang sibuk belakangan ini."

"Bukan apa-apa, istriku juga khawatir soal Eve. Dia sudah tidak terlihat lagi sejak, kamu tahu..." Jimmy tampak ragu mengatakannya.

"Ya, Eve memang masih terguncang karena kejadian itu. Tapi semuanya akan baik-baik saja," Hugo meyakinkan.

"Baiklah. Beri tahu kami kalau kamu butuh sesuatu," Jimmy menepuk bahu Hugo menyemangati.

"Tentu," Hugo tersenyum dengan terpaksa.

Hugo kembali ke rumah saat jam menunjukkan pukul 7 lewat lima belas menit. Evelyn masih belum bangun dari tidurnya. Hugo berniat membuat roti bakar untuk sarapan mereka.

Evelyn turun ke bawah ketika roti bakarnya telah matang. Hugo tersenyum ke arahnya.

"Good Morning sayang," sapanya hangat.

Evelyn duduk di depan kitchen bar seraya menatap Hugo menyiapkan roti bakar untuknya. Ia tampak tidak bersemangat.

"Kamu mau selai apa?"

Evelyn menunjuk selai coklat yang tak jauh dari Hugo. Hugo mengangguk paham.

"Aku akan menghubungi perusahaan penyalur art dan tukang masak hari ini," jelas Evelyn seraya menunggu rotinya dilumuri coklat.

Hugo menyerahkan roti coklat Evelyn. "kamu mau melakukannya?"

Evelyn mengangguk. "Aku mau memilih sendiri. Aku yang akan menghabiskan waktu lebih banyak dengan mereka."

Hugo mengerutkan dahi. "Kamu yakin?" Ia merasa heran karena selama beberapa bulan ini Evelyn selalu bersikap tidak peduli. Dia bahkan tidak punya semangat hidup.

Evelyn mengangguk pasti. "Tentu."

Hugo tampak ragu. Tetapi Evelyn meyakinkan dengan tatapannya. "Baiklah. Tapi aku punya syarat."

Evelyn mengerutkan dahi. "Apa?"

Hugo tampak ragu mengatakannya. Ia pun berkata,"Aku tidak mau mereka laki-laki."

Evelyn mengangguk-angguk dengan meledek. "Jadi kamu mau mereka wanita?"

Hugo menghembuskan napas tak sabar. "Come on Eve. Siapa yang akan tenang kalau istrinya bersama laki-laki lain dirumahnya?"

Evelyn mengangkat kedua tangannya. "Tenang saja, aku mengerti."

"Baik." Hugo mengangguk tenang seraya menatap istrinya yang tampak tenang menikmati roti bakarnya. Hugo pun melahap sarapannya. Tak lama ia pun beranjak untuk bersiap-siap ke kantor.

Saat hendak berangkat, Hugo mendapati Evelyn menatap kosong pada layar TV yang tengah menyala. Ia menghela napasnya.

"Eve, aku berangkat," pamitnya.

"Hmm," hanya itu tanggapan Evelyn. Tidak ada senyuman, pelukan, maupun ciuman yang biasa dia berikan.

Evelynnya sudah jauh berubah. Hugo merasakan hatinya berdenyut sakit.

***

Evelyn menatap layar tab yang menampilkan profil calon art dan tukang masak yang dikirimkan oleh penyalur. Hal pertama yang ia lihat adalah wajah mereka. Ia sengaja minta dikirimkan foto close up dan seluruh badan. Permintaannya itu sedikit aneh. Tapi siapa yang akan menolak jika pekerjaan di rumah itu akan dibayar mahal oleh suaminya?

Pilihan pertama Evelyn jatuh pada seorang gadis bernama Juliet. Gadis itu sangat cantik, rambutnya pirang dan tubuhnya ramping. Secara keseluruhan dia terlihat seperti malaikat.

Evelyn tersenyum kecil. "Hugo suka wanita yang terlihat polos seperti ini. Dia juga pandai memasak dan punya CV bagus. Baiklah."

Evelyn mencari calon ARTnya. Kali ini agak sulit karena yang melamar pekerjaan ini orang-orang yang sudah berumur --sama sekali tidak sesuai kriterianya. Evelyn menggeser layar beberapa kali hingga pilihannya jatuh pada seorang wanita muda bertubuh sintal dan berwajah sensual. Ia bingung kenapa wanita seperti ini melamar sebagai pembantu, tapi ia tidak peduli apa alasannya. Menurutnya wanita ini akan memberikan suasana menarik dirumahnya.

Evelyn terkekeh sendiri.

Layar ponselnya bergetar. Evelyn mendapati nama suaminya dilayar. Setelah menghela napas, dia pun mengangkatnya.

"Eve, aku lupa. Malam ini ada acara makan keluarga. Kamu siap-siap ya? Aku minta Marco untuk antar kamu ke butik dan salon."

Evelyn menghela napasnya, lagi. Padahal ia sedang tidak ingin bersosialisasi.

"Eve?" Hugo memanggilnya dengan khawatir. "Aku tau kamu mungkin ga nyaman. Tapi sudah berapa bulan sejak kejadian itu. Semua orang mengkhawatirkan kamu..."

"Aku mengerti." Evelyn berujar dengan berat hati. Dia tidak bisa menghindar dari menghadiri acara keluarga Hugo. "Aku akan siap-siap."

Evelyn bisa merasakan Hugo tersenyum diujung sana. "Terima kasih sayang."

"Hmm."

"Kalau begitu sampai bertemu nanti."

"Ya."

***

Evelyn memilih-milih baju yang ada di butik langganannya. Seorang pegawai toko tampak mengikutinya dan memegangi baju-baju pilihan Evelyn. Evelyn menyisir baju yang ada di butik itu dan memilih terusan berwarna hitam. Ia menatap baju itu cukup lama hingga akhirnya memutuskan ingin mencobanya.

Evelyn mencoba beberapa baju dan memutuskan untuk memilih terusan hitam tersebut. Setelah itu ia melihat-lihat perhiasan yang ada di butik tersebut. Ia memilih sepasang anting dan kalung yang cocok dipadankan dengan terusan tersebut.

"Totalnya sembilan puluh enam juta tujuh ratus ribu rupiah."

Evelyn menyerahkan black card milik Hugo yang ada padanya. Kasir itu pun memproses pembayarannya.

Evelyn --yang kini telah mengenakan terusan dan perhiasan yang dibelinya-- kembali ke mobil yang telah menunggunya. Didepannya Marco tampak tersenyum ke arah majikannya itu. Akan tetapi Evelyn tidak membalas senyumnya.

Marco mengendarai mobil menuju destinasi mereka berikutnya.

"Eve, kamu baik-baik saja?" tanya Marco khawatir.

"Menurutmu?" Evelyn membalas ketus.

"Kamu sudah gila. Kenapa tiba-tiba ingin bercerai? Bukannya dulu kamu sangat memimpikan kehidupan seperti ini?"

Evelyn menggigit bibirnya. Ia dan Marco sudah mengenal satu sama lain sejak mereka duduk dibangku SD. Mereka sudah bersahabat cukup lama untuk tahu seluk beluk satu sama lain. Sejauh ini orang yang paling sulit ia bohongi adalah Marco.

Marco juga sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri, mengingat Evelyn adalah anak satu-satunya. Marcolah satu-satunya tempat ia bersandar jika kesusahan.

"Aku capek. Aku ingin bebas," ujar Evelyn sejujur-jujurnya.

"Bebas? Bebas melakukan apa?" tanya Marco retoris. "Eve, aku rasa kamu gak benar-benar tahu apa yang kamu inginkan sekarang."

Evelyn mengangguk dengan ekspresinya kaku. "Aku tahu. Kamu yang gak ngerti aku Marc."

"Gak. Kamu gak tau. Kamu sekarang melimpahkan seluruh amarah kamu ke Hugo. Kamu mau menghukum Hugo. Padahal bukan dia penyebab kamu kehilangan anak kamu Eve."

Evelyn menatap Marco marah. "Kamu gak ngerti Marc. Kamu gak ngerti!"

"Setidaknya aku tahu kamu masih mencintai Hugo Evelyn. Jangan melakukan hal yang akan kamu sesali."

Air mata jatuh ke pipi Evelyn. Ia dengan cepat menghapus air matanya. Setelah itu ia tak mengatakan sepatah kata pun lagi.

Ways To Let GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang