4

3 1 0
                                    

"Jadi nyonya bilang apa? " tanya Marco dengan penasaran.

"Dia tetap mau cerai, " ujar Hugo dengan kesal.

"Bos sudah minta maaf dengan benar kan? " tanya Marco lagi dengan curiga.

Hugo tidak menjawab. Tapi melihat ekspresinya Marco sudah bisa menebak apa yang terjadi.

"Bos... " Marco hendak protes.

"Dia membuang bunganya! Dia membuang perasaanku begitu saja! " Hugo membela diri.

"Apa itu penting sekarang, bos? " Marco mengusap wajahnya. Ia benar-benar frustasi pada bosnya ini. "Hubungan antara dua orang itu seperti memegang seutas tali. Kalau nyonya menariknya dengan kencang dan bos juga melakukan hal yang sama, nanti talinya akan putus bos. "

Hugo diam memikirkan ucapan Marco yang kadang-kadang ada benarnya itu. "Lalu? Aku harus apa? "

"Ya jelas bos harus bersabar dan ikuti saja apa maunya nyonya."

"Dia mau cerai! " ujar Hugo emosi karna Marco benar-benar bodoh. Mana mungkin ia menyetujui itu.

"Gak gitu Bos. Maksud saya Bos ikutin aja maunya nyonya. Kalau nyonya marah Bos diam aja. Iya iyain aja. Bawa senyum aja. Bos jangan ikut-ikutan emosi. Memang kesabaran kita diperlukan dalam menghadapi kemarahan wanita bos. "

Hugo manggut-manggut. Mungkin tidak ada salahnya jika ia mencoba saran dari Marco. Kalau dia lebih bersabar, mungkin Evelyn akan merubah keputusannya?

***

Malam itu Hugo memasak masakan kesukaan Evelyn --Steak tanderloin dengan saus black pepper. Ia melihat Evelyn memasuki dapur sekaligus ruang makan mereka. Sebuah senyuman terbit di wajahnya --seperti kata Marco, dia harus selalu tersenyum.

"Hai sayang, " sambutnya.

Evelyn menatapnya seakan ada tanduk tumbuh dikepala Hugo. "Kamu ngapain? " tanyanya.

"Masak? " Hugo menunjukkan senyum lebarnya. Sedangkan Evelyn menatap tong sampah di sebelah Hugo yang dipenuhi tumpukan daging.

Mengikuti tatapan Evelyn, Hugo pun tertawa sumbang. "Aku baru pertama kali masak. Jadi aku masih belum paham caranya. "

Evelyn tak mengacuhkan Hugo. Ia mengambil gelas dari lemari dan mengisinya dengan air dingin. Tak lama tercium lagi bau gosong dari arah Hugo. Pria itu tampak kerepotan. Tapi akhirnya, lagi-lagi daging itu berakhir di tempat sampah.

Evelyn mengerinyitkan dahinya. "Kenapa kamu repot-repot masak kalau gak bisa? "

Hugo mendesah kesal. "Sialan."

"Apa? "

Hugo menunjuk daging yang ada di tempat sampah dengan senyum lebar. "Dagingnya yang sialan."

"Ya itu salah kamu, bukan dagingnya. "

Hugo berusaha mempertahankan senyum di wajahnya. Jika Evelyn menarik talinya kuat-kuat, dia akan jadi anak anjing mengikuti wanita itu. Ya, Hugo tidak akan tersulut hanya karna hal sekecil ini.

"Ahhaha, gimana kalau kita makan diluar aja, Eve? " ucap Hugo akhirnya memberi saran.

"Bukannya kamu lagi penjarain aku di rumah ini? " sindir Evelyn.

"Siapa yang penjarain kamu? " Hugo berusaha keras menahan ekspresinya agar tetap ramah.

"Kamu, " jawab Evelyn singkat. Wanita itu memperhatikan wajah Hugo yang tak henti tersenyum.

"Ahhahaha. Aku cuma lagi jaga-jaga supaya kamu gak kabur. "

"Suit yourself. "

Evelyn meninggalkan ruang makan. Ia kembali ke kamar diikuti oleh Hugo. Pria itu mengunci pintu dibelakangnya.

"Kalau gitu kita pesan makanan aja? Kamu mau apa? Kita bisa pesan dari restoran kesukaan kamu. " Hugo mengeluarkan ponsel dari saku celananya.

Evelyn membalikkan tubuhnya dengan ekspresi kesal. "Gak perlu. Aku ga akan makan. Kalau perlu biar aku mati membusuk disini. Itu kan yang kamu mau? "

Senyuman Hugo memudar sedikit. Tapi pria itu berusaha mempertahankan senyumannya. "Eve, kamu ngomong apa sih. Mana mungkin aku biarin istri cantik aku ini mati. Kalau perlu aku akan kasih nyawa aku buat kamu. "

Evelyn menatap Hugo dengan tatapan ngeri. Seorang Hugo menggombal, itu adalah hal yang hampir mustahil terjadi. Sepertinya pria itu sungguh-sungguh tidak ingin menceraikannya sampai berbuat sejauh itu.

Evelyn marah. Ia pergi ke kamar mandi dan mengunci dirinya disana. Hanya disana, tempat teraman menurutnya dan terlepas dari cengkraman Hugo.

Wanita itu meringkuk. Perasaannya campur aduk. Tak lama ia pun membasuh mukanya di westafel.

"Eve... " Hugo memanggil namanya. "Sayang kamu gak papa kan? "

Evelyn hanya diam.

"Evelyn, kalau kamu ga keluar dalam waktu satu menit aku akan dobrak pintunya. "

Evelyn menghela napasnya berat. Ini baru saja dimulai. Evelyn tahu perceraiannya akan seberat ini. Tak hanya menguras emosinya, tapi juga tenaganya. Ia seharusnya mendengarkan ocehan Cathrine yang menyuruh ia dan Hugo pergi ke psikolog pernikahan. Tapi Evelyn rasa itu sudah terlambat. Dititik ini dia sudah tidak ingin memperbaiki apa pun.

"Evelyn-" Hugo berujar penuh peringatan.

Evelyn menunjukkan wajahnya dari balik pintu, dengan senyuman yang tak kalah lebar dari pada Hugo. Wanita itu melangkah dengan santai menuju tempat tidur mereka.

"Aku ngantuk. "

Hugo mengikutinya dengan senyuman tak kalah lebarnya. Tubuhnya melekat pada Evelyn dengan sebelah tangan memeluk wanita itu dari belakang.

"Good night sayang, " sebuah kecupan mendarat di puncak kepalanya.

Evelyn memicingkan matanya erat. Saat ini dia tidak punya tenaga untuk menyingkirkan Hugo. Tapi dia akan melakukannya nanti. Kita lihat saja siapa yang akan menang nanti.

Ways To Let GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang