VOTE!! KALO GAK DI VOTE, GAK AKU LANJUTIN CERITANYA (๑•̀ㅁ•́ฅ)
***
Sebuah panggung besar telah berdiri kokoh di atas rumput stadion internasional dengan begitu megahnya. Para Penonton juga telah terduduk pada tempat mereka, menunggu acara penghargaan tahunan yang mendatangkan artis maupun aktor terkenal yang berhak menerima penghargaan tahun ini. Sementara dibelakang panggung, Para Artis tengah disibukkan oleh merias wajah dan memilih baju terbaik untuk penampilan mereka hari ini. Seperti halnya Richie. Penyanyi berumur dua puluh tiga tahun itu memandang cermin yang menampakkan wajahnya yang tengah dirias oleh MUA Professional.
Matanya terlihat sayu dan memiliki sedikit lingkar hitam karena rasa kantuk dan penat yang menyerangnya. Tubuhnya juga terasa tak enak, sepertinya nanti malam Ia harus mengunjungi dokter untuk berobat. Sudah hampir dua bulan lamanya Ia tak memiliki waktu istirahat yang cukup. Rasanya Richie ingin pingsan saja agar absen dari acara penghargaan yang diadakan malam ini. Namun, memang sudah menjadi resikonya sebagai Artis, dimana Ia mengorbankan waktu istirahatnya guna mengharumkan karir yang sejak dulu Ia dambakan.
Sayangnya, tubuhnya yang mudah lelah itu membuat Richie harus menahan sakitnya agar tak menimbulkan kekhawatiran maupun merusak profesionalisme-nya. Richie dituntut untuk menyempurnakan segala yang Ia punya untuk menjadi selebritas besar. Richie menyambar sebotol air mineral yang tak jauh darinya menggunakan tangannya yang bergetar. Bukan akibat dari Richie yang merasa gugup atau khawatir tentang kemenangan atau kekalahannya, tetapi karena Richie sudah tak kuat lagi. Ia sudah terlalu lelah.
Setelah meneguk habis air minumnya, tanpa sadar setetes air mata pun terjun dari netra jernihnya. Richie ingin beristirahat, tenggorokannya juga terasa tak nyaman sebab Ia bekerja terlalu keras beberapa minggu sebelumnya. Marshall yang menyadari Sang Artis menangis lantas menghampiri guna menenangkan Richie. Tanpa bertanya lagi, Marshall mendekap tubuh ringkih Richie.
Richie semakin terisak. "Sumpah ... gue capek banget, Shall ... gue pengen tidur nyenyak. Bisa gak sih semalem aja gue tidur nyenyak?" oceh Richie disela-sela tangisnya. "Gue pengen hidup normal, tapi ini juga impian besar gue ... semuanya kayak serba salah ..."
Marshall menepuk pelan punggung Richie beberapa kali guna menyalurkan rasa nyaman dalam dekapannya. Richie tengah kelelahan, tak heran jika Ia begitu sensitif dan mengucapkan apapun yang merasa memberatkannya. Marshall mengerti posisi Richie saat ini. Namun, sebagai Manajer, Marshall tak dapat melakukan banyak hal sebab Ia sendiripun dituntut untuk bekerja keras oleh agensinya.
"Setelah ini lo bisa tidur nyenyak, Richie."
"Mustahil. Gue gak akan bisa tidur nyenyak sebelum agensi ngerasa puas sama apa yang udah gue raih, Shall ..."
Marshall termagu, memang benar kenyataannya seperti itu. Richie terlalu dituntut bekerja keras untuk membesarkan namanya sendiri, bahkan terkadang agensinya itu tak adil dalam membagi jadwal maupun projek-projek besar yang seharusnya diikuti oleh Richie. Terkadang Marshall sendiri ingin marah terhadap Direkturnya yang sering memandang sebelah mata apapun yang telah dicapai oleh Richie. Bagi Marshall, Richie berhak mendapatkan hal yang lebih dari tempatnya berada saat ini.
Saat keduanya tenggelam dalam kebisuan, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian orang-orang yang berada diruangan tersebut. Munculah seorang Staff yang tersenyum ketika pintu terbuka. Staff tersebut terkejut melihat Richie yang sedang menangis tersedu-sedu sambil memeluk Manajernya. Namun, baginya pemandangan seperti ini adalah hal yang lumrah karena seringnya Ia mendapati para artis tengah menangis karena kelelahan dan stress. Tanpa bertanya apa yang terjadi, seraya mengatakan bahwa,
"Richie, ayo ke panggung, tiga menit lagi kamu tampil." Setelah berkata seperti itu, Staff tersebut kembali keluar dari ruangan Richie.
Richie lantas menyeka air matanya, dibantu oleh sang perias agar riasan diwajahnya tak luntur. Mereka pun bergegas menuju belakang panggung dimana sorak sorai para penonton telah terdengar. Sang perias menambahkan sedikit detail kecil untuk menyamarkan bekas air mata dan lingkar hitam di mata Richie. Sementara Richie menetralkan napasnya yang tersengal, Ia harus bersiap dan menunjukan senyum terbaiknya dihadapan orang-orang. Digenggamnya mikrofon berwarna biru dengan tangan yang semakin gemetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Platonic Soulmates
Fanfic[DISCONTINUED] Kehadiran seorang Idola terkadang sangat berarti bagi kehidupan penggemarnya. Lagu-lagu yang diciptakan dengan segenap jiwa dan perasaan itu mampu membuat torehan luka yang ada pada hati penggemarnya seolah terobati. Percaya atau tida...