Senin, pukul 07.15
Apel pagi yang paling digemari para guru dan tak disukai para murid. Ruang kelas dibiarkan kosong tanpa penghuni, tak tercuali tiga sahabat. Reno, Cahya, dan Melvi. Mereka sudah stand by di lapangan. Berbaris rapi dengan atribut lengkap.
Para berandal pun tak luput dari incaran para satpam, mereka digiring di depan dengan penampilan yang berantakan. Mereka juga menjadi pusat perhatian dan contoh untuk tidak ditiru.
Upacara kali ini berjalan dengan lancar meski pidato kepala sekolah sangat panjang dan membuat mereka senam kaki, saking lamanya beliau berbicara. Kadang sampai berlembar catatan yang ditulisnya.
“Capek banget, padahal berdiri doang.”
“Iya nih, ampe kaki gue kesemutan.”
“Mana panas lagi, dah yuk cabut.”
Selesai upacara, semua murid membubarkan diri. Ada yang langsung berpakaian olahraga, dan ada juga yang ke kelas duluan, mengerjakan tugas.
Beragam rupa aktivitas para siswa dan siswi dilakukan di area sekolah. Ketiga sahabat itu sangat dekat, meski tidak satu kelas. Mereka seringkali ke kantin bersama, kadang-kadang mengobrol di pinggir lapangan sambil menonton rumput sekolah bermain bola basket.
Seperti sekarang ini, jam pertama ada guru, kemudian jam kedua tidak ada, di waktu kosong itu mereka mengambil kesempatan. Cahya sangat antusias, diikuti Melvi dan Reno yang terpaksa ikut.
Di tengah lapangan, Rafa dan temannya tengah menggiring bola dengan gesit. Cahya bersorak heboh dan ada banyak suara dari anak-anak lain di dekatnya.
Melvi berkipas diri. Reno menatap kagum ke sosok pemuda yang berlarian dengan bebas. “Andai gue di sana, dan jadi pusat perhatian. Pasti seru.”
Melvi melirik Reno dan berkata, “Gak yakin gue, secara lo kalau ketabrak orang aja langsung jatoh. Ups.”
Reno mendorong Melvi, cewek itu kalau sudah berkomentar pasti to the point sekali. Harusnya dia bisa menjaga hati dan pikiran temannya ini. Melihat tingkah Reno yang kekanakan membuat Melvi tertawa.
“Anak cowok masa ngambek ntar jodohnya diambil embek loh.”
“Heh, itu jodoh apa rumput?”
“Gak tau, pikir aja sendiri.”
Obrolan mereka pun berakhir dengan Rafa yang mencetak skor paling banyak. Kaum hawa menjerit dan meneriakkan namanya. Rafa merupakan pentolan SMA Galaxi. Dia sering dikutsertakan dalam perlombaan apa pun, karenanya juga sekolah yang dia tempati selalu Juara.
Cahya mendekatinya dan memberinya pujian. “Selamat ya, kalau lo yang main pasti selalu menang.”
“Makasih.” Rafa menerima uluran tangan yang tertuju padanya. “Lo sendirian? Melvi mana?” tanya Rafa yang sudah selesai bersalaman dengan teman-temannya.
“Noh, mojok sama Kang cilok.” Cahya mengangkat dagunya ke seberang lapangan.
Rafa melihat siluet cewek dan cowok sedang bersenda gurau. Tawa renyahnya sampai terdengar ketika Rafa mendekat. Dia berada di antara mereka.
“Lagi ngobrolin apa sih? Serius amat.”
“Dih kepo lo,” ujar Reno sinis.
“Ini, gue abis main abc lima dasar, eh dia kalah mulu. Malah gak terima gue kasih tantangan.” Melvi melipat kedua tangannya sambil menatap Reno.
“Dare lo parah tau gak, masa harus pilih satu orang dan bilang “suka” kan gak banget.” Reno tetap menolak.
“Lo laki apa banci? Masa dare mudah kayak gini gak bisa,” ejek Rafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dangerous Boy [TERBIT]
Teen FictionGelapnya malam tak menghentikan aksi sekelompok orang membuat keributan. Hampir setiap hari lautan darah berserakan di jalanan. Ada banyak kejahatan yang tersembunyi di balik bayangan. Tak terkecuali seseorang yang masuk ke dalam kehidupan. Membiark...