Bab 9

8 3 0
                                    

"Bukan salah lo, Vi. Ini kecerobohan gue. Seharusnya gue gak cari gara-gara.” Suaranya yang serak menekan kepiluan dan rasa sakit yang mendalam.

  “Tetap aja, Ya, yang bawa lo ke sini kan gue. Bara juga sepupu gue. Jelas ini salah gue.” Melvi terisak, dia menyalahkan dirinya yang tidak bisa menjaga temannya.

   “Gak Vi….” Mata Cahya berkaca-kaca.

  “Ya, Sekali lagi gue minta maaf. Karena kelalaian gue, Bara ... gue janji sama lo. Gue gak akan biarin Bara deketin lo lagi atau sekadar bertatap muka gue pastiin tuh orang kena karma.” Melvi memeluk Cahya yang sudah berderai airmata.

  “Pokoknya lo harus buat Bara menderita. Vi. Dia orang terjahat yang pernah gue temui. Dia tahu kalau gue masih polos tapi dia malah injak-injak harga diri gue!”

  “Oke. Gue pastiin tuh cowok gue mutilasi dan kirim jasadnya ke kandangan anjing.”

  Cahya terhibur dengan candaan Melvi, meski kenyataannya tidak semuda itu.

   “Gue gak jadi nginep, ya, Vi. Mau pulang aja.”

   Melvi mengangguk. “Oke. Ngeri juga kalau lo kelamaan di sini, yang ada tuh setan kerasukan lagi.” 

   Cahya tertawa. “Lo gak usah anterin gue. Gue bisa pulang sendiri.”

  “Gak. Eh tunggu bentar.”

Melvi keluar dari kamar dan berbelok ke ruangan dimana Bara diikat. Pelaku kejahatan yang sudah mengambil first kiss Cahya sudah diamankan. Melvi mencubit bahkan memukul Bara untuk membalas kekecewaan Cahya. Melvi juga merampas semua barang pribadi Bara.

    “Nih buat lo!” Melvi menyerahkan kunci motor dan dompet Bara yang berisikan banyak kartu serta uang saku.

   Cahya melongo. “Lah kenapa kasih ke gue? Gak baik ngambil milik orang lain, Vi.”

   “Udah ambil semuanya, Bara punya banyak. Ini buat kompensasi. Rasa sakit lo lebih penting. Untuk membalas kejahatan seseorang, kita perlu memiskinkan orang itu.”

  Cahya menatap Melvi dengan heran. “Pepatah dari mana? Kok gue baru tau?”

  “Buat sendiri. Hehe. Lo terima aja. Kalau gak butuh, bisa diloakin, lumayan bisa jadi duit.”

Melvi mengantar Cahya ke depan. Bibir Cahya yang luka ditutup pakai masker. Seragam kotornya diganti dengan baju Melvi dan bagian luarnya dipadukan dengan jaket kesayangan Bara.

   “Eh gue gak bisa terima ini, Vi.” Untuk pakaian Cahya menolak, dia tak ingin teringat oleh lelaki jahat itu.

    “Jaket ini muat sama lo, lagian baju gue kelihatan tembus pandang gitu. Udah lo pake. Gue jamin, perjalanan lo bakal aman.”

   “Lah apa hubungannya sama jaket ini?”

   Melvi mendekatkan wajahnya ke telinga Cahya. “Lo percaya gak sama sekumpulan Hyena yang kalah dengan Raja Hutan?”

   Cahya dibuat bingung dengan perkataan Melvi. “Eh? Gimana?”

   “Bener-bener telmi ya lo. Pantas aja Bara suka banget jahilin lo, eh apa jangan-jangan lo berdua jadian ya di belakang gue,” Melvi memainkan kedua alisnya.

   “Makin ngaco lo. Ya gak mungkinlah. Tadi aja dia jahatin gue, bibir gue masih sakit nih. Pasti si Sari dan Awan muncul besok.”

   “Eh? Siapa lagi tuh?” tanya Melvi bingung.

   Cahya menggeleng. “Dahlah, kalau lo tahan gue di sini, kapan gue pulangnya?”

   “Oh iya, sorry. Hati-hati di jalan! Kalau ketemu polisi tidur, jangan dibangunin ya.”

    “Paling gue lindes sampai gepeng.” Keduanya tertawa lepas, rasa bersalah itu masih ada, dan Melvi tidak akan membiarkan Bara lepas begitu saja.

***

   Motor milik Bara keluar dari garasi, Cahya rada sulit saat menaikinya soalnya body si red sangat tinggi, beruntung tubuhnya tidak kecil, setelah dinaiki dan dinyalakan, akhirnya semua kendala bisa diatasi dengan mudah. Sebelum pergi. Cahya memberinya tanda. Melvi mengangguk dan melambaikan tangannya.

   Bayangan Cahya menghilang, begitu pun dengan tatapan Melvi berubah muram. Dia mengunci pintu, beralih ke ruangan dimana Bara dikurung.

  Saat Melvi masuk, Bara sudah sadar dengan gaya tengilnya, dia menatap Melvi. “Cewek gue mana?”

    Melvi mendengus, dia melipat kedua tangannya. “Lo tau apa kesalahan lo?”

   Bara tak menjawab, dengan mudah Bara melepaskan ikatan yang membingkainya, dia beranjak dan melewati Melvi.

   “Apa yang gue lakukan udah bener. Lo gak usah ikut campur.”

   “GARA-GARA KELAKUAN BEJAT LO, GUE HAMPIR KEHILANGAN TEMAN, BAR. LO NGERTI GAK SIH!”

  Bara menoleh. “Dia akan tetap jadi temen, lo. Tapi statusnya bakalan berubah. Sejak gue tandai temen lo, dia milik gue.”

“SINTING LO BAR. LO UDAH NYAKITIN CAHYA TAU GAK! SEKARANG DIA BENCI BANGET SAMA LO! DAN GUE? SEUMUR HIDUP GUE GAK AKAN PUNYA TEMEN. ITU KAN LO YANG MAU!”

  Bara menggebrak pintu sampai engselnya lepas. “Dia beda, dia akan tetap jadi temen lo, gue pastiin itu!”

   “Gak! Lo orang terjahat yang paling gue benci. Stop bertindak bebas. Ini bukan wilayah lo, jadi gue harap lo tahu batasan atau gue aduin semua ini ke orang itu biar lo merasakan hidup dalam penyiksaan!”

    “Vi! Jangan berani lo gertak gue lagi. Video itu dari awal gak ada, kan?”

   “Ya, meski begitu, lo tetap takut sama kehidupan lama lo yang suram itu, kan. Apa? Lo mau mukul gue? Sifat lo benar-benar gak berubah tau gak.” Melvi menatap Bara dengan nyalang.

Bara menunjuk ke wajah Melvi. “Ini peringatan buat lo, sekali lagi gue lihat lo ikut campur urusan pribadi gue, gue akan buat semuanya jadi kacau.”

  Melvi mencibir, “Kehidupan lo lebih hancur dari gue. Bar. Gak ada lagi yang bisa lo perbaiki, dan Lo berharap Cahya menerima lo apa adanya? Heh. Mimpi!”

  Bara menendang pintu itu hingga terpental, dia pergi dengan emosi yang meluap. Melvi tertunduk lesu. Semua tenaganya sudah dikerahkan untuk memaki. Melvi memeluk dirinya sendiri. Tubuhnya bergetar, dia menggigit bibirnya dengan perasaan serba salah.

"Maafin Gue, Ya. Gue Egois!"

"Ini Semua Salah Gue, Please Jangan Benci Gue, Ya"

Melvi bergumam sendiri, dan berteriak dengan histeris. Suaranya yang menggelegar sampai terdengar ke luar dimana Bara berada. Lelaki berwatak keras itu tak pergi, melainkan berdiri mematung di luar.

Bara mendongak dan mengembuskan napasnya yang gusar. Dia terlalu gegabah mendekati seseorang. Harusnya dia lebih sopan, tetapi rasa sukanya kepada Cahya sangat besar. Saat perempuan itu memaki di depannya, membuat jantungnya melompat beberapa kali. Nadinya bergejolak dan mendidih.

  "Ah, shit!" umpatnya kesal.

Bara merogoh saku celananya. Ponsel dan dompetnya menghilang. Alisnya yang tajam menukik, kemudian lidahnya berdecak, Bara tahu siapa pelakunya, ini pasti ulah Melvi. Tatapannya juga jatuh ke garasi yang kosong. Motor kesayangannya pun tak ada. Kedua cewek itu bermain di belakangnya. Tapi tak apa, Bara sangat menyukai gadis yang menjadi incarannya.

.....

Dangerous Boy [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang