5. Tridharma

109 22 1
                                        

Laki-laki berambut ikal dan berjaster biru tua yang sejak tadi menjadi tokoh utama divisi komisi disiplin itu tertawa kecil. "Apa jaminannya?"

"Izinkan kami untuk berdiskusi, Kang," seru Neya.

"Apa diskusi kalian nanti menjamin kami akan mendapatkan jawabannya?" Salah satu komisi disiplin melangkah pelan menghampiri Neya. Laki-laki berkacamata dengan frame  Berrybarton 1579 itu berdiri tepat menatap Neya dalam-dalam.

Gadis berkerudung hitam itu perlahan membalas tatapan kakak tingkatnya. Memperhatikan dengan intens dari kaki dan pandangannya berhenti saat membeku ketika mata keduanya saling memandang. Entah siapa dia. Neya muak melihat pandangan remeh dari laki-laki itu. "Jangan menganggap remeh angkatan kami, Kang."

"Siapa yang menganggap remeh?" Dia tertawa kecil dan melihat sebuah jam di pergelangan tangannya. "Kami tunggu selama lima menit. Silakan berdiskusi."

Dengan cekatan, Hanif memberi isyarat kepada semua regu untuk berkumpul di bagian tengah aula. Ada sekitar 55 regu dengan masing-masing regu berisi 5 sampai 7 orang. Mereka berdiskusi perihal jaminan yang akan diberikan kepada komisi disiplin agar mereka semua bisa diluluskan.

Hanif membuka suara lebih dulu. "Menurut gue, mereka-mereka yang nanti tidak lulus, mungkin bisa diminta ke komdis untuk diubah menjadi lulus bersyarat. Nah, kalian ada yang punya ide lulus bersyarat ini harus dengan syarat apa biar dilulusin?"

Seorang perempuan yang rambut ikalnya diikat rapi, mengangkat tangannya. "Izin, gue Brenda, gimana kalo anak-anak lulus bersyarat ini dikasih tugas untuk melakukan sebuah pengabdian atau mengajar di masyarakat? Kalian tau, kan, tentang tridharma perguruan tinggi yang tadi dibahas sama pemateri?"

"Pendidikan, penelitian, dan pengabdian?" sambung Neya.

"That's right!"

"Jadi, ki—"

"DUA MENIT LAGI!!" salah seorang komisi disiplin berseru dengan tangan yang dilipat di dada. "Yakin, tuh, keputusan diambil sama semua pihak? Saya lihat-lihat hanya beberapa pihak aja yang bersuara?"

Ah, sial. Komisi disiplin berkacamata yang tadi menatap Neya selalu saja berbicara padahal Brenda belum selesai menyelesaikan kalimatnya.

"Jadi, kita bisa melakukan pengabdian ke masyarakat kayak panti asuhan, maybe?"

"Iya, Brenda, gue setuju," sahut yang lainnya.

Sore hari ini penuh dengan ketegangan. Tanpa aba-aba, ternyata ada sebuah pengumuman kelulusan dari ospek fakultas. Bagi para mahasiswa baru, mungkin ini adalah sesuatu yang mengejutkan, karena saat ospek universitas tidak ada klasifikasi lulus atau tidaknya. Ospek universitas hanya penuh dengan kegiatan yang menyenangkan dengan menonton konser band lokal di ruang terbuka.

"Waktu habis! Sekarang saya ingin mendengar hasil diskusi kalian." Laki-laki berkacamata itu mulai berseru kembali dan para mahasiswa baru kembali ke tempatnya masing-masing.

Brenda, perempuan yang mendominasi sesi diskusi tadi, mengangkat tangan. "Izin memperkenalkan diri, Kang. Nama saya Brenda Gusava dengan NIM 2366354 dari regu cendrawasih. Saya memutuskan untuk memberi jaminan—"

"Apa tadi? 'Saya'?"

"Masih ada yang individualis ternyata, Kang!" Sahut salah satu komisi disiplin perempuan yang berdiri di paling belakang barisan mahasiswa.

"Maaf, maksud saya, kami memutuskan untuk memberi jaminan bahwa jika ada teman-teman kami yang tidak lulus, diluluskan saja, Kang, tapi dengan mengubahnya menjadi lulus bersyarat. Lalu, syarat dari kelulusannya adalah memberinya tugas berupa pengabdian ke masyarakat seperti panti asuhan, Kang."

EVALUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang