4. Solidaritas

121 17 4
                                    

"Hahaha! Proud of you, guys!" Teh Ghina merangkul Neya dan keempat lainnya sampai mereka saling meloncat kegirangan. "Terima kasih sudah bersuara dan berani membela teman kalian."

"Gara-gara si botak ketombe itu tuh, Teh," celetuk Jihan.

Sore ini, setelah kegiatan ospek hari kedua telah selesai, Teh Ghina dan regu Murai Batu berkumpul kembali di kos Alia. Teras kos Alia adalah satu-satunya tempat terluas yang menjadi "basecamp" mereka.

"Teteh tau darimana kalo kita kena omel komdis tadi?" tanya Alia.

"Tau dong."

Tidak penting sejauh mana Teh Ghina mengetahui itu semua, karena jika dilihat kembali, dia merupakan panitia mentor yang sudah pasti mempunyai interaksi kuat bersama para komisi disiplin di balik layar.

Dua hari sudah terlewati. Walaupun pada akhirnya mereka mendapat punishment untuk mengerjakan sebuah infografis berukuran A3 yang deadline-nya esok hari perihal Hanif yang tidak membawa onde-onde. Neya hanya perlu menunggu hari esok sebagai hari terakhir MPLF. Tidak masalah, hanya menjalaninya saja tanpa memikirkan apapun. Mungkin dua hari terakhir ini adalah sesuatu melelahkan yang rasanya hanya ingin cepat diselesaikan, tetapi siapa yang tahu bahwa masa-masa ini yang akan dibicarakan ketika berkumpul dengan Regu Murai Batu dalam satu tahun tahun ke depan.

Sudah hampir pukul dua belas malam, masih di tempat yang sama, teras kos Alia, mereka masih belum selesai mengerjakan infografis itu. Kelimanya terlalu menghabiskan waktu mencari snack teka-teki ke berbagai warung karena di mana-mana habis dibeli oleh mahasiswa baru lainnya. Masih ada Hanif dan Neya yang dengan cekatan menyelesaikan punishment infografis Murai Batu. Kelima lainnya, termasuk Teh Ghina yang sejak tadi menemani, tertidur lelap. Teh Ghina tertidur dengan keadaan terduduk dan bersandar pada dinding. Kepala Alia dan Jihan bertumpu pada kedua kaki Teh Ghina sebagai bantal, sedangkan Tio yang terlihat paling lelah tertidur dengan posisi telentang di sudut dinding lainnya.

"Kalo capek, pulang duluan aja, Neya," ujar Hanif sembari menggunting-gunting sebuah kertas untuk menghias infografis. "Ini biar gue yang selesaiin. Bentar lagi."

"Gue gak terbiasa untuk ninggalin sesuatu yang belum selesai," jelas Neya.

"Maaf, ya. Jadi kena semua gara-gara gue."

"Kita semua juga ngerasa bersalah sama lo kali, Han. Kenapa ngaku sih tadi?" Neya mengerutkan keningnya dan menatap Hanif.

"Kalo gue ngaku, setidaknya komdis lebih bisa ngehargain gue daripada ketahuan duluan sama mereka, bisa aja merekanya lebih marah." Hanif tiba-tiba menerbitkan senyum dari wajahnya. "Akhirnya! Selesai juga!"

"Hah? Apa yang selesai?" Teh Ghina terbangun dengan wajah yang masih mengantuk. Matanya tertuju pada sebuah infografis buatan tangan yang terbuat dari karton putih berukuran 79 x 109 cm. Infografis yang bertemakan "Pentingnya Literasi di Era Digital" yang menjadi hukuman regu mereka, berhasil diselesaikan.

"KEREN BANGET!" seru Alia yang tiba-tiba sudah tersadar dari tidurnya dan membuat Jihan dan Tio seketika ikut terbangun.

"Kalian keren banget, besok pagi jangan lupa dibawa, ya. Sekarang kalian rapiin sampah-sampahnya dan langsung pulang ke rumah atau kos masing-masing," jelas Teh Ghina.

"Lo berdua kenapa gak bangunin kita sih, anjir!" seru Jihan mengomeli Neya dan Hanif. "Seenggaknya biar gak capek-capek banget."

"Kalo ospeknya udah selesai, gantinya traktir kita makan ayam bakar di Warung 61 aja, Ji." Neya tertawa tipis. "Santai kali."

"Boleh tuh, Ji," timpal Teh Ghina.

"Iya, nanti gue traktir Teh Ghina dan lo semua, tapi traktir es teh aja, sisanya bayar sendiri."

Lelahnya mereka semua, ditutup dengan gelapnya malam menuju pergantian hari. Tepat pukul setengah satu pagi dini hari, mereka pulang ke kos masing-masing. Jihan, Tio, dan Teh Ghina memutuskan untuk berjalan bersama karena kos mereka berada di satu arah yang sama. Sebenarnya, Hanif pun juga, hanya Neya yang berbeda arah dan membutuhkan waktu sekitar sembilan menit untuk berjalan dari kos Alia. Namun, Hanif merasa harus menemani Neya pulang dengan selamat.

"Padahal lo pulang aja duluan, Han. Masa harus muter-muter nganterin ke kos gue dulu."

"Emang berani? Hampir jam satu pagi loh ini. Takut Neya diculik." Hanif tertawa tipis. "Kalo ada apa-apa lagi sama anggota kelompok gue, nanti gue jadi orang yang paling merasa bersalah."

"Karena apa?" Neya mendongak ke samping kanan dan menatap mata Hanif di balik kacamata cowok itu.

"Bukannya itu tanggung jawab dari seorang ketua?" Hanif membalas tatapan Neya.

"Oh, iya, siap ketua." Gadis yang tinggi tubuhnya lebih rendah daripada Neya itu spontan membuang muka setelah beberapa detik melakukan kontak mata dengan tatapan teduh Hanif.

Sebuah percakapan singkat di bawah langit hitam berhiaskan bulan purnama dan bintang yang bertabur pukul satu dini hari itu mungkin tak akan terulang kembali. Hari-hari penuh lelah yang menekankan solidaritas, tanggung jawab, dan berani bersuara.

***

"Pada hari ini, hari terakhir Masa Pengenalan Lingkungan Fakultas, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Harapan Bangsa, kami dari tim komisi disiplin ingin mengapresiasi teman-teman yang tidak melakukan kesalahan pada hari ini maupun hari-hari kemarin," ucap salah satu laki-laki tinggi yang berada di depan para mahasiswa baru. "Namun, masih ada saja kesalahan yang dilakukan rekan-rekan."

"Sudah hari terakhir, masih ada yang melakukan kesalahan. Kalian ini tidak progresif!" teriak komisi disiplin yang lain.

"Kami meragukan kelulusan teman-teman semua. Apa kalian bersedia jika ada teman kalian yang tidak lulus MPLF ini?"

"TIDAK, KANG!" serentak para mahasiswa.

"Jelas-jelas masih ada yang melakukan kesalahan."

Neya mengangkat tangannya dan berdiri. "Izin memperkenalkan diri, Kang, Teh, saya Abila Neyaka dari regu Murai Batu. Kami semua telah melewati MPLF selama tiga hari berturut-turut dengan usaha. Kami juga sudah saling mengingatkan mengenai penugasan. Dengan penuh kesadaran, saya tidak setuju jika masih ada teman kami yang tidak lulus."

"Jadi, kalian maunya jika ada yang tidak lulus, semua tidak lulus?"

"Tidak, Kang."

"LALU, MAUNYA APA?! SEMUANYA DILULUSKAN?!"

"Bersuara dong! Katanya mahasiswa?!" seru komisi disiplin yang berdiri di paling belakang ruang aula.

Sial. Suasana macam apa ini. Ratusan mahasiswa baru bisa saja menang jika dihadapkan dengan 40 komisi disiplin. Dari jumlah saja, mereka sudah kalah. Para mahasiswa baru hanya perlu berani bersuara dan beradu argumen dengan 40 orang itu.

Hanif dan beberapa mahasiswa baru lainnya mengangkat tangan. Namun, lebih dulu Hanif yang dipersilakan untuk berpendapat.

"Luluskan kami semua, Kang, Teh. Setelah MPLF ini, saya yakin, kami semua akan lebih berprogres lagi."

Laki-laki berambut ikal dan berjaster biru tua yang sejak tadi menjadi tokoh utama divisi komisi disiplin itu tertawa kecil. "Apa jaminannya?"






— Bersambung

EVALUASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang