Lima

77 15 3
                                    

Asa Pov

Sesuai pembicaraan ku dengan mama kemarin mengenai papa, hari ini aku berniat untuk meminta maaf. Benar kata mama, meskipun papa terlihat sudah melupakan kejadian saat aku melanggar peraturannya sikap papa masih cuek dan bahkan enggan untuk mengajakku berbicara.

Biasanya papa orang yang cerewet selalu mengingatkan hal-hal kecil dan mengaitkannya dengan kesehatan. Dan di hari liburnya seperti ini, biasanya juga mengajakku olahraga, agar keseimbangan tubuh tetap terjaga. Tapi, tidak untuk hari ini ia benar-benar mengabaikanku, papa terlihat lebih seram kalo marahnya cuman diam kaya gini.

"Paa...".

Seru ku setelah beberapa menit memberanikan diri mendekati papa yang sedang membaca buku kedokterannya di depan teras.

Papa berdeham tanpa menoleh. Aku menghela nafas sesaat, lalu duduk di samping papa.

"Maafin Asa ya". Kata ku dengan nada suara menyesal. "Aku udah ngelawan aturan papa kemarin..".

Papa menutup bukunya, menghela nafas sebentar sebelum menoleh pada ku. Aku kembali menundukkan kepala melihat wajah tegas papa takut saja suasana hatinya sedang tidak baik.

"Papa tau kamu udah gede, kamu berhak memberontak". Papa angkat suara, membuat ku berani menatapnya. "Tapi di satu sisi papa gak mau kamu cepet dewasa. Kamu anak papa satu-satunya, kalo kamu udah gede gak ada lagi yang bisa papa peluk dan cium-cium tanpa gengsi. Apalagi perjuangan dulu dapatin kamu tuh susah banget".

Aku terdiam, ternyata papa sosok yang begitu hangat. Dia sesayang itu pada ku, tak mau aku tumbuh dewasa karena aku miliknya satu-satunya. Aku jadi merasa bersalah.

"Dulu papa iri banget sama om Jimin, baru beberapa bulan nikah sama tante Mina udah ada Ruka aja. Kalo di lihat dari urutan harusnya kamu yang jadi kakak sepupu Ruka. Tante Mina adik mama kamu, tapi kamu baru ada setelah 5 tahun pernikahan. Itu pun kita promil kamu lewat bayi tabung".

Penjelasan papa benar-benar aku simak, dari nada bicaranya terdengar sedih membuat aku sedikit tersentuh. Aku sekarang jadi tau, alasan papa sangat prosesif tidak mau aku cepat dewasa karena perjuangan mendapatkan ku saja sudah susah payah.

Soal kak Ruka, memang seharusnya dia adalah adik sepupu ku. Tapi karena aku merasa lebih muda darinya aku tidak mau di panggil kakak olehnya. Aku lebih nyaman, kalo aku yang manggil dia kakak.

"Maaf pa, aku udah bikin papa sedih. Aku cuman mau hidup normal kaya yang lain aja pa". Ucap ku.

"Memangnya sekarang kamu gak normal?".

"Maksud aku, kaya kak Ruka gitu. Om Jimin bebasin kak Ruka mau kemana aja, asal ngerti waktu. Kak Ruka juga di bolehin pacaran dari SMA..".

"Lah kamu mau pacaran juga?".

Aku terkesiap, lalu menggelengkan kepala. Bukan begitu maksud ku, tapi aku juga tidak bisa menjabarkannya. Bagaimana ya?.

"Kamu masih SMA, papa bolehin kamu pacaran nanti kalo sudah waktunya". Ujar papa membuat aku terdiam.

"—tapi kalo ada cowok yang suka kamu dan minta izin baik-baik ke papa secara langsung, papa pasti kasih kesempatan".

"Serius?".

Aku mendongak menatap papa dengan mata yang tak percaya. Mencoba untuk kembali memastikan yang aku dengar adalah benar. Hati papa sudah ku luluhkan.

"Kalo bisa ya nanti aja kalo udah lulus SMA, jangan sekarang-sekarang".

Aku mengangguk, lagi pula untuk saat ini aku sedang tidak dekat dengan cowok mana pun. Kalo pun dekat itu juga dengan Jeongwoo, dan hingga saat ini aku hanya menganggapnya teman. Dan itu tidak lebih. Karena yang aku tau, Jeongwoo pun begitu pada ku. Hanya rumor-rumor dan desas-desus saja di sekolah kalo Jeongwoo suka pada ku, nyatanya hingga saat ini ia tidak pernah mengungkapkan secara langsung dengan ku.

Tell Friend (JEONGWOO X ASA X HARUTO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang