Chapter 9 [revisi]

25 8 1
                                    


---

Siang itu, di sebuah apartemen yang terletak di lantai dua, terdengar suara ketukan jari yang teratur. Jika kalian bertanya siapa yang sedang sibuk dengan handphone, jawabannya adalah Taufan. Sosok pemuda berambut hitam pekat dengan senyum lebar di wajahnya ini, tengah asyik memainkan game di ponselnya. Sudah cukup lama ia merasa bosan, terutama ketika semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Biasanya, Taufan akan mengganggu kakaknya, Halilintar, yang selalu jadi sasaran keisengannya, tetapi kali ini dia memutuskan untuk tidak berbuat ulah. Tentu saja, ia tidak ingin berakhir dengan memar di tubuhnya ketika sedang liburan seperti sekarang ini.

"Asuuuu... kalah lagi!" Taufan mendengus kesal. Dia melempar ponselnya ke tempat tidur, dan berbaring dengan malas. Dengan napas yang berat, ia menatap langit-langit kamar, mencari sesuatu yang bisa mengusir kebosanan. Sesekali matanya melirik jam yang menunjukkan pukul 12 siang. "Huh... lapar juga ya," gumamnya sambil memegang perutnya yang sudah keroncongan. Ia pun teringat bahwa mungkin Gempa belum selesai memasak. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan berjalan menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi perutnya.

Di dapur, Gempa sedang sibuk dengan masakannya. Taufan menghampiri kakaknya yang sedang memotong bahan masakan.

"Gempa, gempa," panggil Taufan dengan suara ceria, seperti anak kecil yang ingin dimanja ibunya.

"Ada apa, Kak?" Gempa bertanya tanpa mengalihkan perhatian dari bahan yang sedang dipotongnya.

"Izin keluar sebentar, mau beli snack," ujar Taufan.

Gempa mengangguk setuju. "Oke, hati-hati," katanya.

Taufan pun bergegas menuju pintu. Namun, sebelum sempat keluar, suara Gempa terdengar lagi. "Taufan!"

Taufan menoleh dengan sedikit kesal. "Apa lagi, Gem?"

"Tolong pulangin bakulnya Liona sama Marsya," tambah Gempa.

"Siap!" jawab Taufan singkat, lalu berlari keluar, menutup pintu dengan cepat.

Namun, begitu berada di lorong apartemen, Taufan berhenti sejenak, berpikir. "Apartemen nomor berapa ya?" Ia terdiam, mencoba mengingat kembali alamat yang diberikan Gempa. Tapi, rasanya seperti ada yang hilang. Taufan memutuskan untuk bertanya pada Gempa, tapi dia sudah keluar, jadi ia harus menghadapinya sendiri.

Di tengah kebingungannya, langkah kaki Taufan terhenti oleh suara seorang perempuan. "Taufan!"

Dia menoleh, dan wajahnya langsung cerah ketika melihat Marsya. "Eh, Marsya, aku mau balikin bakul kamu. Makasih ya biskuitnya," ucap Taufan sambil menyerahkan bakul yang diminta Gempa.

Marsya tersenyum, menerima bakul tersebut. "Iya, nggak masalah, Taufan." Dia tampak santai, meski ada sesuatu dalam senyumannya yang membuat Taufan merasa aneh.

Taufan mengangguk dan melihat plastik hitam besar yang dibawa Marsya. "Itu apa?" tanyanya, menunjuk ke arah plastik tersebut.

"Oh... ini bahan buat biskuit," jawab Marsya agak terburu-buru, namun nada suaranya terdengar sedikit gugup.

Taufan menatap Marsya dengan mata setengah menyipit. Ada yang tidak beres dengan jawaban itu. "Bahan untuk biskuit?" ucapnya pelan. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. "Oh gitu," jawabnya dengan ragu.

Marsya tersenyum dan mengubah topik pembicaraan. "Taufan, kamu mau bantu kami buat biskuit? Kak Liona dan aku sedang bikin." Senyumannya semakin lebar, sulit untuk dijelaskan.

Taufan bingung sejenak, lalu berpikir. Awalnya ia ingin menolak karena ingin membeli snack, tetapi setelah mendengar tawaran Marsya, ia mulai merasa tertarik. "Ya, kenapa tidak," jawabnya pasrah, mengikutinya ke arah pintu yang lebih jauh.

Mereka berjalan menyusuri lorong panjang yang hampir gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil yang berkedip-kedip. Taufan merasa bulu kuduknya berdiri. Semakin lama berjalan, semakin aneh perasaan yang ia rasakan. Ada sesuatu yang tidak beres, tetapi ia tidak bisa menaruh jarak. Marsya berjalan di depannya dengan langkah tenang, sesekali menoleh dengan senyum misterius. Taufan berulang kali bertanya tentang tempat yang mereka tuju, tetapi Marsya hanya memberikan senyum penuh arti dan tidak banyak bicara.

Langkah mereka terhenti di depan pintu paling ujung lorong, sebuah pintu yang tampak usang dan kotor. Tanpa tanda nomor apartemen, pintu itu terlihat seolah-olah sudah lama tidak digunakan. Marsya membuka pintu, dan hawa dingin langsung menyambut Taufan.

"Ayo masuk, Fan," ujar Marsya dengan senyum lebar yang membuat Taufan merasa ada sesuatu yang tidak beres. Meskipun ragu, Taufan akhirnya melangkah masuk. Begitu memasuki ruangan, perasaan aneh semakin menghantuinya. Suasana sangat gelap, dan ruangan terasa lembap. Tidak ada cahaya yang masuk, hanya ada bau aneh yang memenuhi udara.

Derr... pintu yang tertutup dengan keras membuat Taufan terlonjak. "Oh, maaf, kaget ya?" Marsya tertawa dengan suara yang terdengar aneh di telinga Taufan.

Taufan hanya bisa mengangguk dengan kaku, berusaha menenangkan diri. "E-ei, hai, Liona," sapa Taufan, berusaha mencairkan suasana.

Liona muncul dari tangga, mengenakan ekspresi malas. "Hmm, sudah dapat tamu ya, Dik?" ucapnya dengan nada yang terdengar biasa, namun ada kekosongan di matanya.

Taufan hanya bisa mengangguk. Ia merasa semakin cemas. "Iya, Liona," jawabnya pelan.

Taufan melihat sekitar. Ruangan itu semakin menekan perasaannya. Gordennya tertutup rapat, meskipun ini masih siang. "Eh, kenapa gordennya nggak dibuka?" Taufan bertanya dengan rasa penasaran.

Liona menjawab ketus, "Aku nggak suka cahaya."

Taufan merasa semakin tertekan, dan ingin segera keluar dari ruangan itu. Tetapi Marsya tiba-tiba menarik tangannya dan mengajak Taufan menuju dapur.

Begitu sampai di dapur, bau busuk yang menyengat langsung menusuk indra penciumannya. "Huek... bau apa ini?" Taufan hampir muntah karena bau itu.

"Oh, itu bau keju yang dibeli Kak Liona," jawab Marsya, sambil meletakkan plastik hitam yang ia bawa tadi ke dalam kulkas.

Taufan merasa semakin bingung. "Tapi katanya itu bahan buat biskuit, kenapa dimasukin ke kulkas?" tanyanya, merasa ada yang tidak beres.

Marsya hanya tersenyum sinis. "Buat apa pakai bahan itu kalau bahan yang segar ada di depan mata?" katanya sambil melirik Taufan dengan tatapan yang tajam. Tiba-tiba, tangan Marsya menyambar pisau yang tergeletak di dekatnya.

Taufan mundur dengan cepat, tubuhnya dipenuhi rasa takut. "Tunggu, Marsya..." Suaranya bergetar, tak mampu menyembunyikan ketakutannya.

Namun, langkahnya terhenti saat ia menabrak sesuatu. Ia berbalik dan melihat sosok Liona berdiri di depan pintu, dengan senyum yang mengerikan.

"Selamat tinggal, Taufan," ujar Liona dengan suara dingin. "Kirim salam untuk dua wanita itu."

Jlebb! Pisau itu menembus dada Taufan dengan cepat, dan darah mengalir deras.

---

"Begitulah ceritanya," ucap Liona sambil tersenyum puas, seolah-olah tidak ada yang aneh. "Kami mencincang daging Taufan, lalu membuat biskuit spesial untuknya. Kami memberi Gempa untuk mencobanya, tapi dia malah menangis. Jadi, kami kirim dia bertemu dengan kakaknya."

Aliya yang mendengar cerita itu hanya bisa terisak. "Kalian... kejam..." Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Kedua kakaknya hilang begitu saja, dan kini ia harus menghadapi kenyataan ini.

Marsya memandang Aliya dengan tatapan tajam. "Jangan sedih, cantik. Kamu yang selanjutnya."

DU APARTEMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang