Chapter 11 [revisi]

25 8 0
                                    


---

Jejak Kematian

Ruangan itu terasa semakin sesak, seolah-olah ada sesuatu yang menekan mereka dari segala arah. Pintu yang tertutup rapat, jendela yang tertutup rapat, dan dinding yang dipenuhi kegelapan, semuanya seakan menyelimuti mereka dalam kegelapan yang semakin menakutkan. Setiap detak jantung mereka terdengar keras, mengalun dengan irama yang semakin cepat seiring berjalannya waktu.

Di luar, suara angin menderu keras, seakan mencoba menerobos kedalam, namun suasana dalam ruangan ini tetap mencekam. Tidak ada suara selain napas mereka yang terengah-engah, semakin berat karena ketegangan yang menggantung di udara.

Blaze dan yang lainnya sudah mulai merasakan ada yang tidak beres. Mereka sudah melalui banyak hal, namun tidak pernah merasakan ketegangan seperti ini. Sesuatu di ruangan ini terasa salah. Sangat salah.

“Kenapa kita bisa berada di sini?” bisik Hali, suaranya nyaris tenggelam dalam keheningan yang melingkupi mereka. Ia menatap sekitar, mencoba mencari sesuatu yang bisa memberikan petunjuk. Namun yang ia temukan hanya bayangan hitam di setiap sudut ruangan, seolah-olah setiap dinding menyembunyikan sesuatu yang lebih mengerikan.

Aliya di sebelahnya hanya mengangguk, wajahnya sangat pucat, seakan seluruh darahnya mengalir keluar. Dia merasakan hawa dingin yang merayap di tubuhnya, bukan karena suhu ruangan yang rendah, melainkan karena adanya sesuatu yang tak terlihat, sesuatu yang mengancam mereka dari kejauhan. Ia tidak tahu apakah itu intuisi atau kenyataan, namun rasanya sangat nyata.

“Ada yang tidak beres di sini,” gumam Aliya dengan suara serak, matanya berkeliling, mencermati setiap sudut yang gelap. Ia bisa merasakan ketakutan yang menyelimuti mereka, merasuk ke dalam jiwa mereka, menekan mereka dengan cara yang tidak bisa dijelaskan.

Hali mengangguk pelan. Mereka semua merasakannya. Seperti ada sesuatu yang mengintai mereka, memantau setiap gerakan mereka, setiap detak jantung mereka. Seperti ada mata yang menunggu saat yang tepat untuk menerkam.

Saat itulah, suara berat yang berasal dari sudut ruangan mengalun, menginterupsi keheningan yang menyesakkan. Suara itu terdengar seperti seretan napas yang berat, dan saat mendengar itu, tubuh mereka langsung tegang. Tanpa sadar, langkah mereka berhenti sejenak.

“Kenapa buru-buru, hmm?”

Semua mata langsung tertuju pada sumber suara tersebut. Dari balik bayangan yang kelam, seorang pria duduk di sudut ruangan dengan tenang, menghisap rokok. Asap tipis yang keluar dari mulutnya menyelimuti wajahnya yang tampak samar. Namun, matanya, matanya yang berkilau seperti manik ruby, menatap mereka dengan tajam, penuh makna yang tidak bisa mereka pahami.

Seluruh tubuh mereka terasa kaku. Ada sesuatu di dalam tatapan itu, sesuatu yang membuat mereka merinding. Sesuatu yang membuat mereka merasa seperti sedang diburu.

Pria itu bangkit perlahan dari kursi tua tempat ia duduk. Gerakannya sangat tenang, tetapi ada ketegangan dalam setiap langkahnya, seperti predator yang siap menerkam mangsanya. Semakin mendekat, semakin terasa berat udara di sekitar mereka.

Blaze, yang tidak tahan lagi dengan ketegangan itu, maju dengan langkah cepat, tubuhnya gemetar karena kemarahan yang tak terkendali. "LO… LO PASTI BERSEKONGKOL SAMA DUA CEWEK GILA ITU KAN?" teriaknya, suaranya menggema di seluruh ruangan, mencerminkan kemarahan yang membara. Namun, pria yang kini berada di depan mereka hanya tersenyum tipis, seolah-olah menanggapinya dengan acuh tak acuh.

"Santai, jangan teriak... shuttt," ujarnya dengan suara pelan namun penuh ancaman. Dengan gerakan yang sangat tenang, ia meletakkan telunjuknya tepat di bibirnya, seolah memberi isyarat untuk diam. "Kita di sini cuma mau main, jangan pakai otot," lanjutnya, kemudian kembali duduk di kursinya dengan santai, tatapannya tetap tak lepas dari mereka.

Wajah Blaze semakin memerah, napasnya semakin berat, namun ia tetap berusaha untuk tidak menunjukkan rasa takutnya. Namun, ketegangan yang menggelayuti udara, yang semakin terasa berat, membuatnya sedikit ragu.

“Lo siapa dan apa mau lo?” tanya Hali, suara ketusnya menggema di ruangan yang sunyi. Matanya yang tajam menatap pria itu, mencoba untuk menunjukkan bahwa dia tidak takut.

Pria itu menatap Hali sejenak dengan tatapan tajam yang penuh perhitungan. “Kenalin, gue Adrian,” jawabnya dengan suara yang sangat santai. Tanpa ragu, ia mengulurkan tangannya, namun Hali hanya melirik telapak tangan itu dengan mata penuh curiga. Ia tidak berniat untuk menyambutnya. Ia tahu, ada sesuatu yang sangat salah dengan orang ini.

“Gausah sok kenal kita, kita nggak punya masalah sama lo,” kata Aliya, maju beberapa langkah, matanya penuh kebencian. Hali menatapnya, memperingatkannya untuk hati-hati, namun Aliya tetap maju. Tatapan Adrian tidak berubah, tetap tenang, hanya senyum tipis yang menghiasi wajahnya.

Adrian tertawa pelan, namun tawanya terdengar begitu menyeramkan, seperti gelak tawa yang keluar dari kegelapan. "Gak punya masalah?" katanya dengan suara yang sangat dalam, semakin mengintenskan ketegangan di dalam ruangan. "Ya walaupun kalian berempat sih..." Dia menunjuk ke arah Yaya, Ying, Fang, dan Gopal, "...tapi lebih tepatnya... sama... LO BERDUA."

Kata-kata Adrian seperti menyentuh hati mereka dengan pisau tajam, semakin memperburuk suasana yang sudah mencekam. Tawa Adrian semakin keras, menggemakan di seluruh ruangan yang semakin sempit.

Dan kemudian, dalam sekejap, sesuatu yang tak terduga terjadi.

Sret!

Dengan kecepatan yang sangat luar biasa, Adrian melemparkan pisau ke arah Hali dan Aliya. Hali bereaksi cepat, menghindar dengan gerakan gesit, namun Aliya tidak sempat bergerak. Pisau itu meluncur cepat dan menembus udara, melesat tepat mengenai bahu Aliya. Darah langsung mengucur deras dari luka tersebut.

“ARKH!” Aliya terjerembab ke lantai, memegangi lengan yang terluka. Darah mulai mengalir tanpa henti, membasahi bajunya. Rasa sakit yang menusuk membuatnya terpekik, namun ia berusaha bertahan, tidak ingin menunjukkan kelemahan di hadapan Adrian.

“ALIYA!” teriak Hali, segera berlari menghampiri adiknya yang terjatuh. Wajahnya penuh kekhawatiran. Namun, sebelum ia bisa sampai, Adrian melangkah lebih dekat, matanya masih penuh dengan ancaman yang tak terucapkan.

“LO APA MAU LO, BANGSAT?” teriak Hali dengan suara penuh amarah. Namun Adrian hanya tertawa, tawanya semakin gelap, semakin penuh kebencian.

"Gue mau lo semua... MATI DI TANGAN GUE!" kata Adrian dengan suara yang dingin dan penuh kebencian, seolah mengingatkan mereka bahwa mereka sedang berada dalam cengkeramannya.

Detak jantung mereka semakin cepat, semakin keras. Mereka tahu mereka terjebak, mereka tahu bahwa mereka berada dalam permainan hidup dan mati yang tak dapat mereka hindari. Tidak ada jalan keluar. Satu-satunya pilihan adalah bertarung atau mati.

Aliya yang terluka, Hali yang marah, Blaze yang panik, dan yang lainnya kini terperangkap dalam permainan maut ini. Mereka harus melawan, atau mereka akan menjadi korban dalam permainan ini. Semua terasa begitu gelap, begitu penuh ketegangan.

Apakah mereka bisa melarikan diri? Atau, akankah mereka menjadi bagian dari permainan maut ini?

---

DU APARTEMENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang