Jovan duduk di tepi kolam di halaman belakang rumah mereka, memandang air yang tenang. Dia merasa gelisah dan bingung, tidak yakin apakah dia harus bertanya kepada kakaknya, Abyan, tentang hal yang selama ini mengganggu pikirannya. Abyan adalah sosok yang selalu tenang dan bijaksana, dan Jovan percaya bahwa kakaknya bisa memberikan jawaban yang dia butuhkan. Dengan hati-hati, Jovan memutuskan untuk menghadapinya.
"Kak, bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?" Jovan akhirnya menemui Abyan yang sedang duduk di teras depan, menikmati secangkir teh hangat.
"Apa yang membuatmu gelisah?" tanya Abyan dengan lembut, matanya penuh perhatian.
Jovan menghela nafas panjang sebelum akhirnya mengungkapkan kegelisahannya. "Aku merasa bingung, kak. Aku tidak tahu apa yang seharusnya aku lakukan dalam situasi ini. Aku butuh bantuanmu."
Abyan tersenyum lembut, menepuk pundak adiknya. "Tenanglah, Ceritakan padaku apa yang membuatmu gelisah. Aku akan mendengarkan dengan penuh perhatian."
Jovan pun mulai bercerita, merincikan setiap detail yang mengganggu pikirannya. Abyan mendengarkan dengan sabar, tanpa sepatah kata pun. Setelah Jovan selesai bercerita, Abyan menatapnya dengan penuh kehangatan.
"Ketahuilah, Ketenangan bukan berarti tidak ada masalah. Ketenangan adalah kemampuan untuk tetap tenang di tengah-tengah masalah. Kita akan mencari solusi bersama-sama."
Mereka berdua duduk diam, menikmati keheningan yang menyelimuti mereka. Jovan merasa lega setelah bisa berbagi beban pikirannya dengan Abyan. Dia merasa seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya. Abyan adalah sosok yang selalu mampu memberikan ketenangan dalam setiap situasi.
────────────────────────
Gama duduk di ruang keluarga, menatap layar laptopnya dengan ekspresi tegang. Dia sedang mencari informasi tentang biaya operasi untuk adiknya, Jovan, yang akan dilakukan bulan depan. Gama merasa tertekan karena biaya operasi tersebut sangat besar, dan keluarganya tidak mampu untuk membayar semuanya. Dia merasa sedih dan cemas, namun tetap berusaha untuk tetap berpikir positif.
Saat itulah, adiknya Abyan masuk ke ruang keluarga.
"Kak, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Abyan sambil duduk di sebelah Gama.
Gama menjelaskan situasi yang sedang dihadapi keluarganya, tentang biaya operasi Jovan yang sangat besar. Abyan terdiam sejenak, lalu menatap kakaknya dengan penuh harap.
"Kak, kita pasti bisa menemukan cara untuk membayar biaya operasi Jovan. Kita harus tetap optimis," ucap Abyan dengan penuh keyakinan.
Tak lama kemudian, Lintang, datang. Gama menceritakan kekhawatirannya kepada Lintang, tentang bagaimana mereka akan bisa membayar biaya operasi Jovan. Lintang mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu tersenyum sambil meletakkan tangannya di pundak Gama.
"Kita akan menemukan cara, kak. Kita bisa mengumpulkan dana" ucap Lintang dengan tegas.
Malam itu, Gama, Abyan, dan Lintang duduk bersama di ruang keluarga, membicarakan rencana untuk mengumpulkan dana untuk biaya operasi Jovan. Mereka merencanakan berbagai kegiatan pekerjaan, Meskipun tantangan besar menanti mereka, namun semangat dan harapan mereka tidak pernah padam. Mereka berkomitmen untuk bekerja sama dan tidak menyerah, karena mereka percaya bahwa ada jalan keluar dari setiap masalah.
°
°
°
°Jovan memasuki ruang keluarga dengan langkah gugup. Dia menatap kakaknya, Gama, yang sedang sibuk membaca buku di sofa.
"Kak, aku ingin izin pergi ke sekolah menggunakan bus," ucap Jovan dengan suara ragu. Gama menoleh, matanya menyiratkan kebingungan.
"Kenapa harus naik bus? Bukannya kita selalu jemput kamu dengan mobil?" tanya Gama dengan nada heran. Jovan menelan ludah, mencoba menemukan kata-kata yang tepat.
"Mobil kita sedang dalam perbaikan, dan aku tak ingin ketinggalan ujian hari ini," jelasnya pelan.
Gama menarik napas dalam-dalam, matanya menatap Jovan dengan tajam.
"Kamu tahu betapa bahayanya naik bus di kota ini. Aku tidak bisa memberikan izin untuk itu," ucap Gama dengan suara tegas. Jovan merasa darahnya mendidih.
"Tapi aku sudah terlambat, kak! Aku butuh izinmu," desaknya dengan nada yang mulai meninggi. Gama menatap Jovan dengan ekspresi kesal.
"Jovan, kamu harus mengerti bahwa aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku tidak akan membiarkanmu naik bus di kota ini. Itu sudah final," ucap Gama dengan suara yang tak bisa ditawar.
Jovan merasa marah dan frustrasi. Dia merasa seolah-olah Gama tidak memahami situasinya.
"Kamu selalu seperti ini! Selalu mengatur hidupku tanpa memperdulikan apa yang aku inginkan," ucap Jovan dengan suara yang gemetar. Gama menatap Jovan dengan tatapan penuh penyesalan.
"Aku hanya ingin melindungimu, Jovan. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu," ucap Gama dengan suara lembut. Namun, Jovan sudah terlanjur marah. Dia mengangkat tasnya dan keluar dari rumah tanpa berkata sepatah kata pun.
Di dalam bus, Jovan duduk dengan wajah yang murung. Dia merasa bersalah karena telah bertengkar dengan Gama, namun juga merasa marah karena merasa diatur terus-menerus.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE SIDE
Teen Fictionmampu kah mereka bertahan di kondisi seperti ini yang mengharuskan mereka harus tetap mengengam tangan bersama??