Tama dan Julian duduk di teras belakang rumah mereka, menikmati suasana senja yang tenang. Mereka mendengar suara tawa dari ruang tamu, tempat ketiga kakak mereka sedang berkumpul. Tama mengangkat alisnya
"Apa yang mereka bicarakan di dalam sana?" Julian mengernyitkan kening
"Aku tidak yakin, tapi sepertinya mereka membicarakan sesuatu yang serius."
Mereka berdua mendekat ke jendela ruang tamu dan mendengarkan pembicaraan kakak-kakak mereka.
"Kita harus mencari cara untuk mendapatkan uang untuk operasi Jovan," kata salah satu kakak mereka dengan nada khawatir.
"Aku tidak tahu bagaimana kita bisa mengumpulkan uang sebanyak itu," sahut kakak yang lain.
Tama dan Julian saling pandang, mereka merasa prihatin mendengar percakapan tersebut.
Setelah kakak-kakak mereka selesai berdiskusi, Tama dan Julian bertemu di kamar mereka. Mereka duduk di atas tempat tidur, mencoba mencari solusi untuk membantu kakak-kakak mereka.
"Apa yang bisa kita lakukan, Tama?" tanya Julian dengan suara pelan. Tama memandang Julian dengan penuh tekad
"Kita harus mencari pekerjaan. Tidak ada cara lain untuk mendapatkan uang secepatnya."
Mereka berdua merencanakan untuk bekerja di mini market di dekat rumah mereka tanpa sepengetahuan kakak-kakak mereka. Mereka yakin bahwa dengan bekerja keras, mereka dapat membantu mengumpulkan uang untuk operasi Jovan.
"Kita harus tetap tenang dan fokus, kak. Kita pasti bisa melakukannya," ujar Tama sambil meyakinkan diri sendiri. Julian mengangguk setuju
"Kita harus bekerja sama dan tidak memberitahu mereka sampai kita berhasil mengumpulkan uang yang cukup."
Mereka berdua memutuskan untuk mulai mencari informasi tentang lowongan pekerjaan di mini market dan membuat rencana kerja yang terperinci. Meskipun mereka merasa tegang dengan situasi yang dihadapi, mereka juga merasa lega karena memiliki rencana untuk membantu kakak-kakak mereka. Dengan hati yang penuh tekad, Tama dan Julian bersiap-siap untuk menghadapi tantangan yang ada di depan mereka.
♡
♡
♡
♡Rafa melangkah perlahan ke halaman belakang rumah, di mana adiknya, Jovan, duduk termenung di bawah pohon rindang. Wajah Jovan terlihat murung, dan Rafa segera merasa kekhawatiran menyusup ke dalam hatinya. Dia duduk di sebelah adiknya, mencoba mencari tahu apa yang sedang mengganggu Jovan.
"Ada apa, Jovan? Kamu terlihat sedih," tanya Rafa dengan nada lembut.
Jovan menoleh ke arah Rafa, matanya penuh dengan kesedihan yang dalam.
"Aku merasa sedih, kak. Aku merindukan masa-masa bahagia kita bersama," ucap Jovan dengan suara yang penuh dengan emosi.
Rafa merasakan getaran sedih yang sama merayap ke dalam dirinya. Mereka berdua telah melewati begitu banyak hal bersama, dan Rafa juga merindukan saat-saat bahagia itu.
Rafa memeluk Jovan erat, mencoba memberikan sedikit kehangatan dan dukungan.
"Aku juga merindukan itu, Jovan. Tapi ingatlah, kita punya banyak kenangan indah yang akan selalu kita simpan di hati. Kita bisa menciptakan momen-momen bahagia baru, meskipun mungkin tidak sama persis seperti sebelumnya," ucap Rafa dengan penuh keyakinan.
Jovan mengangguk perlahan, tetapi ekspresi sedihnya masih terpancar jelas di wajahnya.
"Aku tahu, kak. Tapi rasanya begitu sulit untuk melupakan semua yang telah terjadi," ucap Jovan dengan suara yang penuh dengan kehampaan.
Rafa merasakan kepedihan yang mendalam dalam kata-kata adiknya, dan dia merasa terpanggil untuk memberikan semangat lebih lagi.
"Kita tidak perlu melupakan semuanya, Jovan. Kita bisa membiarkan kenangan-kenangan itu tetap ada dalam hati kita, sambil tetap melangkah maju. Kita bisa belajar dari kesedihan kita, dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih kuat dan bijaksana," kata Rafa dengan penuh keyakinan.
Dia ingin adiknya tahu bahwa ada harapan di tengah-tengah kesedihan yang mereka rasakan.
Jovan menatap Rafa dengan penuh perhatian, dan Rafa bisa melihat kilau kecil harapan di matanya.
"Terima kasih, Rafa. Aku akan mencoba untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang lebih positif," ucap Jovan dengan suara yang agak lebih cerah.
Rafa tersenyum, merasa lega melihat adiknya sedikit lebih baik dari sebelumnya. Mereka duduk bersama di bawah pohon rindang, saling memberikan dukungan satu sama lain di tengah-tengah kesedihan yang mereka rasakan.
°
°
°Rafa duduk di ruang keluarga yang tenang, menatap kakaknya, Gama, dengan tatapan penuh harap.
"Kak, tadi sore aku melihat Jovan di taman. Dia terlihat begitu merindukan masa-masa bahagia di masa lalu bersama kita," ucapnya pelan, suaranya penuh dengan kehangatan dan kepedulian.
Gama mengangguk, matanya penuh dengan kekhawatiran.
"Apa yang dia lakukan di taman? Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya, suaranya penuh dengan kekhawatiran yang mendalam terhadap adiknya.
Rafa menghela nafas, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas.
"Dia hanya duduk di bawah pohon, memandang langit dengan tatapan kosong. Sepertinya dia sedang merenung tentang masa lalu, tentang saat-saat ketika kita begitu bahagia bersama," jelasnya, mencoba untuk mengekspresikan kekhawatiran yang sama seperti kakaknya.
Gama merenung sejenak, lalu tersenyum lembut.
"Kita semua merindukan masa-masa bahagia itu, Rafa. Tapi kita juga harus ingat bahwa masa depan masih menawarkan harapan. Kita harus membantu Jovan untuk melihat ke depan, untuk menemukan kebahagiaan baru," ucapnya dengan penuh keyakinan, mencoba untuk menawarkan kata-kata penuh harapan kepada adiknya.
Rafa mengangguk, merasa terharu dengan kata-kata kakaknya.
"Aku akan mencoba membantu Jovan melihat ke depan, kak. Aku akan membuatnya merasa bahwa masih ada banyak hal indah yang menunggu di masa depan," ucapnya mantap, berjanji dalam hati untuk memberikan harapan kepada adiknya.
Mereka berdua duduk dalam keheningan, merenungkan tentang masa lalu yang indah namun juga mencoba untuk menatap masa depan dengan penuh harapan. Dalam keheningan itu, mereka merasakan kekuatan cinta dan dukungan antara satu sama lain, membangun harapan yang kuat untuk masa depan yang lebih baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLUE SIDE
Teen Fictionmampu kah mereka bertahan di kondisi seperti ini yang mengharuskan mereka harus tetap mengengam tangan bersama??