03. Hope

82 20 12
                                    

Jisoo, ayahmu di rumah sakit sekarang. Dia terkena serangan jantung saat di kantor.

Apa yang dikatakan asisten ayah, Pak Song, di panggilan telepon itu terus berputar di kepala Jisoo seperti radio rusak. Saat ini, Jisoo sudah tidak bisa memikirkan apa pun. Dia berlari keluar dari taksi, pintu masih terbuka saat dia bergegas menuju pintu masuk rumah sakit. Dia tidak peduli pada pandangan aneh dari orang-orang di sekitar; yang ada di pikirannya hanya ayahnya.

Memasuki lobi rumah sakit, suasana yang sibuk langsung menyambutnya. Bau antiseptik yang khas dan suara monitor medis yang berdenting menambah kegelisahannya. Orang-orang berlalu lalang: pasien yang menunggu di kursi roda, perawat yang mendorong tempat tidur, dan dokter yang berjalan cepat dengan raut wajah serius. Cahaya lampu neon putih yang terang terasa dingin dan menambah kesan steril.

Jisoo menelusuri lorong panjang menuju ruang IGD. Dia melewati ruang tunggu yang penuh sesak dengan keluarga pasien yang cemas, sama sepertinya. Suara langkah kakinya yang cepat bergema di lantai keramik, menyatu dengan suara percakapan dan instruksi medis yang diberikan melalui speaker.

Saat mendekati ruang IGD, suasana semakin tegang. Beberapa perawat berdiri di balik meja penerimaan sibuk dengan berkas-berkas dan telepon yang terus berdering. Di sudut lain, seorang dokter sedang berbicara dengan seorang keluarga pasien, berusaha menjelaskan kondisi medis dengan suara yang menenangkan.

Ketika pintu ruang IGD terbuka, Jisoo melangkah masuk dengan langkah cepat. Di dalam, ruangan itu dipenuhi dengan peralatan medis canggih, tempat tidur yang dipisahkan oleh tirai putih, dan staf medis yang bergerak cepat dalam tugas mereka. Cahaya dari monitor yang berkedip-kedip menerangi ruangan dengan cahaya biru dan hijau.

Jisoo segera melihat seorang perawat yang tampak sedang memeriksa kondisi pasien di dekat pintu. "Di mana saya bisa menemukan Tuan Kim?" tanyanya tanpa basa basi, suaranya gelisah.

Perawat itu memandangnya dengan simpatik. "Tuan Kim ada di kamar nomor tiga, tepat di ujung lorong ini," katanya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

Jisoo bergegas menuju ke sana. Setiap langkah terasa berat, seolah-olah waktu bergerak lambat. Ketika Jisoo mencapai pintu kamar, dia mengambil napas dalam-dalam lagi sebelum membukanya.

"Jisoo," panggil seorang pria seketika menyadari kehadiran Jisoo di ruangan itu. Dia sebaya ayahnya, masih memakai setelan jasnya, meski sudah acak-acakan. Pria itu tampak lelah, raut khawatir jelas terpatri pada wajahnya. "Masuklah," sambutnya dengan suara yang lirih.

Jisoo langsung menghampiri tempat pria itu berdiri, dan seketika, hal yang dia lihat membuat air matanya tidak terbendung lagi. Jisoo terdiam, menangis. Di atas kasur rumah sakit, dia melihat ayahnya telah terbaring kaku, seluruh tubuhnya sepucat kertas. Di sekitarnya, ada alat-alat medis yang sudah tidak terhubung pada tubuhnya.

Detik itu, dunia Jisoo runtuh. Tubuhnya terasa lemas, dia hampir tidak mampu berdiri. Dengan perlahan, dia berjalan mendekati tempat tidur ayahnya, lututnya bergetar hebat. "Ayah...." suaranya serak, hampir tidak terdengar.

Tiba-tiba, pintu ruangan IGD terbuka dengan kasar sehingga menghasilkan suara bantingan, dan Lalisa muncul dari sana dengan seorang gadis berambut hitam yang Jisoo kenal. "Jisoo, aku lelah mengejarmu!" seru Lalisa dengan napas tersengal-sengal. "Aku khawatir sekali. Untung saja Jennie tahu kau ke mana!"

Di belakang Lalisa dan Jennie, dua satpam sigap menarik tangan mereka. "Nona, kalian mengganggu ketenangan pasien! Silakan keluar sekarang atau kami akan melibatkan polisi!!" kata salah satu satpam dengan nada tegas. 

𝗢𝗽𝗲𝗿𝗮𝘁𝗶𝗼𝗻 𝗕𝘂𝗿𝗶𝗲𝗱 𝗨𝗻𝗸𝗻𝗼𝘄𝗻 || 𝗖𝗵𝗮𝗲𝘀𝗼𝗼Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang