Chapter 4 - Vanor dan Nealla

30 2 5
                                    

Dua bola bening itu kemudian cair dan secara perlahan bertransformasi, menciptakan sepasang tubuh anak laki-laki dan perempuan yang masing-masingnya berusia sekitar 10 tahun.

Aku pun mendekati tubuh mereka yang sedang tertidur pulas untuk melihat perawakan mereka, mengecek apakah persis seperti yang kubayangkan.

Kulit mereka putih, cerah dan bersih. Rambut mereka berwarna perak mengkilau, potongan rambut pendek untuk si laki-laki dan rambut panjang untuk si perempuan. Kedua-duanya pun mempunyai telinga panjang dan runcing. Mereka adalah elf.

Penciptaan ras elf selesai. Waktu yang dihabiskan  7 menit.

Benar, aku memilih menciptakan ras elf — juga disebut elven. Ras dunia fantasi yang terkenal dengan energi Mana yang dominan dan berumur panjang, berkali lipat mengalahkan batas umur ras-ras lainnya.

Hal ini jelas sangat menguntungkan bagiku, karena jikalau suatu hari aku mengalami 'Kelelahan raga' dan tertidur selama ribuan tahun, kedua elf ini masih akan tetap ada.

Beberapa saat kemudian, dua bocah elf itu pun mulai terbangun. Mereka dengan lembut membuka mata secara perlahan, menampilkan iris mata berwarna emas menyala. Tatapan mereka tertuju padaku, menunjukkan ekspresi penasaran.

"Selamat datang anak-anakku yang imut," sapa hangatku sambil menutup tubuh mereka dengan kain putih halus yang sebelumnya kuciptakan dengan Mana.

"Jadi, bagaimana perasaan kalian? Apa kalian senang? Apa kalian bahagia?" tanyaku berbasa-basi.

Mereka hanya terdiam sambil terus memandang wajahku seakan tak paham arti dari suara yang keluar dari mulutku. Situasi ini sangat canggung. Aku tidak tahu harus berkata apa.

Hingga akhirnya, si gadis elf pun mengucapkan kata pertamanya, "Ini, apa?" Wajahnya datar tak berekspresi.

 "Ini adalah rumah kalian, tempat yang akan kalian tinggali mulai dari sekarang!"

Seruanku mempersembahkan hutan itu langsung dibalas dengan pertanyaan dari yang laki-laki, " 'Kalian' apa?"

"Ah! Pertanyaan bagus! Kalian adalah elf, penduduk pertama dunia ini," jawabku terus tersenyum.

" 'Dunia' apa?" tanya mereka ketiga kalinya.

"Ya, sederhananya, tempat kalian berada saat ini ... "

Kedua bocah itu lalu berbarengan menoleh mata masing-masing dan bertukar pandang. Mereka berbalas mengarahkan jari, saling menunjuk satu sama lain lalu secara bersamaan bertanya, "Ini, apa?" Suara mereka sinkron.

"Bukan 'ini' tapi 'dia', dia itu adalah temanmu, astaga ... " jawabku memutar mata, agak kesal dengan pertanyaan polos mereka. "Sabar, aku harus sabar ... "

Selain kesadaran berkeinginan bebas, aku juga memberikan mereka pengetahuan dalam berbahasa. Tapi, entah kenapa, cara berbicara mereka terdengar sangat terbatas. Mungkin mereka akan lebih fasih seiring berjalannya waktu.

Setelah sedikit berjeda, aku lalu berdiri tegak dengan percaya diri seraya mengulurkan tangan ke mereka, "Ayo, akan aku ajarkan kalian tentang dunia ini!"

Raut wajah kebingungan mereka tiba-tiba berubah cerah dihias senyuman dan mata berkilau bagaikan anak yang baru saja diajak ayah mereka jalan-jalan ke taman hiburan. Aku sama sekali tidak memperkirakan perubahan drastis dari suasana hati mereka itu.

Dengan penuh rasa bahagia dan nyaman, mereka menggenggam erat tanganku dan ikut berjalan bersamaku.

Aku lalu menamai yang laki-laki 'Vanor' sementara yang perempuan 'Nealla'.

Hari demi hari pun kami lewati bersama tanpa adanya jeda dalam pengajaranku. Pertanyaan demi pertanyaan terus mereka lemparkan tanpa henti. Semakin lama mereka pun menjadi semakin cerewet. Kadang ada hari di mana aku menemukan mereka menyebalkan, terutama Vanor. Tapi, rasa bangga tak pernah meninggalkan hatiku. Kami sudah seperti keluarga.

Creating My Own Fantasy World from Zero!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang