#4 Rasa Yang Dipendam

6 1 0
                                    

Kekerasan bisa saja terbentuk dari sebuah perlakuan yang kejam, ketika seseorang tidak bisa mengendalikan sifat kejamnya.

*Senandika*

*

Rasa sakit pada fisik mungkin lebih baik dari sakit yang sulit untuk diobati secara medis. Ucapan serta tindakan seseorang memang tidak bisa dikendalikan, selain diri sendiri yang harus berusaha mengobatinya. Tidak mudah untuk menerima jika diri ini di sepelekan, tidak di hargai, di anggap remeh, bahkan di anggap tidak ada. Tapi, kenapa hanya aku yang selalu terluka? Terlebih, jika aku sering menghindari hal itu. Kini pikiran Shilfa dipenuhi dengan prasangka yang tidak baik.

Ketika untuk pulih membutuhkan waktu, tapi Shilfa sendiri tidak punya banyak waktu untuk larut dalam semua masalahnya. Keadaan, telah membuat Shilfa agar bisa tetap terbiasa dengan masalah. Setelah mendapat masalah baru, Shilfa langsung pulang kerumahnya, yang dimana hanya ada kehangatan di dalamnya. Benar memang, semua rumah selalu menjadi saksi dari para penghuninya.

Tatkala tangan Shilfa membuka pintu yang sudah usang, lalu langkah Shilfa masuk ke dalamnya, ekspresi Shilfa seolah berubah dengan tidak menunjukkan perasaannya.

"Eum, wangi apa ini?" wangi harum dari masakan mengalihkan pikiran Shilfa.

"Kenapa kamu pulang cepet hari ini?" tanya seseorang yang sedang berada di ruang dapur yang terbilang sederhana.

"Emangnya aku gak boleh pulang kerumahku sendiri?" tanya Shilfa, sangat heran.

"Bukan, maksud aku–" Tama langsung panik seketika.

"Aku paham ko. Tapi aku emang lagi pulang cepet hari ini, dan aku gak tau mau pergi kemana selain pulang. Jadi santai aja, selesain masakanmu itu. Aku mau naik ke atas dulu ya," begitulah Shilfa, mudah sekali untuk menutupi segala perasaannya.

Dengan kata-kata manis, yang disertai senyuman yang tidak menunjukkan kesedihan. Dan tidak lupa jika Shilfa juga menutupi masalah hidupnya dengan sikap tegas serta ucapannya yang terdengar keras dan kasar.

"Ya, nanti kalo udah mateng aku panggilin!" kata Tama. Ketika Shilfa telah menghilang, di balik anak tangga.

Sungguh kehidupan yang isinya tidak selalu indah. Shilfa tiba di kamarnya, yang sama sekali tidak memiliki keistimewaan. Sebab, semuanya telah hilang di makan masa, dan hanya tersisa bekas-bekas coretan yang entah ada di dinding atau bahkan langit-langit kamar. Kendati demikian, Shilfa tetap berusaha pengertian pada dirinya sendiri. Tangannya yang terluka, dengan hanya dililitkan robekan baju dirinya sendiri, Shilfa berniat untuk mengantinya dengan pengobatan yang lebih layak.

Shilfa mengambil sekotak obat pada di salah satu laci di lemarinya, karena kebetulan hanya ada satu lemari besar di kamarnya. Shilfa lantas duduk di bangku yang tepat digunakan bersamaan meja rias. Shilfa membuka lilitan perban pada tangannya, lalu membersihkan darah yang sudah kering itu dengan alkohol. Saat menyentuhkan kapas yang berisi alkohol, Shilfa bersiaga untuk menahan rasa sakitnya. Namun anehnya, sama sekali tidak sakit.

"Kenapa gak perih sama sekali?" kata Shilfa merasa heran.

Sentuhan kapas yang sebelumnya dioleskan dengan sangat hati-hati, sontak Shilfa mengoleskannya dengan sangat keras. Hingga terlihat dasar dari telapak tangan Shilfa, dan terlihat jelas bahwa tidak ada apa-apa di telapak tangannya.

"Jadi sama sekali gak ada lukanya? Terus darah itu berasal dari mana?" Shilfa dibuat bertanya-tanya.

"Jangan-jangan," pikir Shilfa.

Tangan Shilfa kebetulan bersentuhan dengan dada Kaili Nael, dan rasanya itu memang bukan kebetulan. Mulut Shilfa langsung terbuka lebar, lalu Shilfa segera menutupnya dengan kedua tangannya. Manik mata Shilfa yang tadinya fokus pada lukanya, kini menjadi fokus pada wajahnya yang terlihat sangat terkejut di depan cermin. Ya, Shilfa dibuat tidak percaya, akan rasa percaya dirinya yang tinggi itu.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang