WE || TLC 5

65 41 27
                                    


"Udah kumpul semua?." Tanya perempuan dengan rambut pendek. Dia adalah ketua ekstra SAR

"Sudah kak." Kompak anggota SAR.

"Pemanasan dulu, habis itu langsung 10 kali keliling lapangan." Ujar ketua ekstra.

"Siap." Jawab kompak anggota SAR.

"MULAI." Teriak gadis berambut pendek itu.

"kak Clarisa, harusnya 9, soalnya pertemuan kemarin 8." Ucap salah satu junior SAR.

Namun Clarisa hanya mengedikkan bahunya acuh, seakan tak peduli dengan junior - junior yang lain.

Delia menatap sinis senior nya itu. "Zan, tu manusia satu bego apa gimana sih, ga bisa itung - itungan." Ujar Delia julid, mengarah pada Clarisa.

Zano langsung menbekap mulut julid Delia, pasalnya Delia berbicara dengan suara yang lumayan keras, walau ia Clarisa terlihat jauh dari tempatnya sekarang, tetap saja harus berhati - hati.

"Mulut lo bisa ga, pelan aja kalo ngomong." Ujar Zano memperingati.

"Lah, suka suka gue dong, mulut mulut gue, kenapa lo yang ngatur?, ngasih makan gue lo? engga kan." Jawab Delia menantang.

Zano menepuk jidatnya "Lo ga tau?." Tanya Zano menatap Delia intens.

"Engga lah, orang gue manusia bukan Tau bulat." Jawab Delia nyeleneh.

"JANGKRIK." Teriak Zano frustasi sambil menjambak rambutnya sendiri.

"Sumpah Del, kalo pembunuhan bukan tindakan kriminal, lo udah gue potong - potong anjing." Ucap Zano dengan wajah memelas.

Jihan dan Zabi yang melihat Zano frustasi tertawa hingga menangis, berbicara dengan Delia, sama saja masuk ke labirin, susah dipecahkan.

Jihan dengan air mata yang berjatuhan menghampiri Delia yang memandang mereka bingung.

Jihan menarik telinga Delia mendekat ke arah mulutnya. "Katanya Ardanta deket sama kak Clarisa, yang pas itu lo foto, makanya jangan asal ngomong dongo." Jelas Jihan.

Delia hanya mengangguk - anggukan kepalanya pelan dan menatap kearah Ardanta yang sedang pemanasan.

"Ardanta kok mau ya, sama cabe modelan kak Clarisa?." Ucap Delia dalam hati.

15 menit sudah berlalu untuk pemanasan dan lari. Semua anggota SAR berkumpul di pinggir lapangan, membentuk lingkaran dengan buku dan pena di masing - masing tangan.

"Babi, pinjam pena, pena gue ilang anjir, baru beli kemarin padahal." Ujar Delia kepada Zabi yang sekarang duduk di sebelahnya.

"Del, lo pernah lihat gue bawa tempat pensil?." Ujar Zabi menatap kearah Delia dengan senyum yang dipaksakan.

Delia balik menatap Zabi dengan senyum yang di buat semanis mungkin, ia lupa, bahwa Zabi adalah manusia anti pena, jika di kelas pun, Zabi akan meminjam pena Ucok, ataupun yang lain.

Delia mengkode Jihan dan Zano yang duduk cukup berjarak dengannya untuk meminjamkan pena. Namun sayang, diantara mereka ber dua, tidak ada yang peka sama sekali.

Saat Delia memberu kode kearah Zano dan Jihan, tepat di depan matanya ada yang menyodorkan pena dengan gambar panda yang membuat Delia terdiam menatap pena tersebut.

"Nih, pake dulu." Ujar orang itu.

Delia menatap ke arah orang yang memberinya pena itu, ternyata dia Ardanta, cowok yang beberapa hari ini lumayan dekat dengannya.

Delia tanpa pikir panjang langsung mengambil pena tersebut dan menulis materi yang di berikan oleh Clarisa dengab sistem kebut.

"SEMUANYA PAHAM?." Tanya Clarisa dengan lantang.

WE || THE LAST CHAPTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang