WE || TLC 2

110 81 31
                                    


Rintik hujam membasahi lapangan SMK Nusa Bhakti, dengan berhati - hati Delia menginjak rerumputan disana.

"Del, pulang naik apa lo?." Tanya Jihan sambil menenteng tas di pundak nya.

Delia hanya menggeleng kan kepalanya "Gatau, bokap gue nomornya ga aktif."

"Rumah kita arahnya lawanan Del, gue ke timur, lo kebarat." Jawab Jihan bingung, Rumah Delia dan Jihan berlawanan arah. (jauh banget rumah mu, aku ga bisa ng

Delia menghela nafas, namun sekelebat ide muncul di otak kecil nya "Masih ada bis trans ga sih Han?."

Jihan mengedik kan bahu tanda tak tau. Mata Jihan bergulir menglihat sekeliling, ia memincingkan mata nya. "Del, itu Ardanta bukan, dia kan searah sama lo, sama - sama ke barat kan?."

"Ogah, gue ga sedeket itu buat pulang pulang bareng." Jawab Delia menerangkan.

"Gapapa Del, turunin gengsi lo, ini udah mau magrib, lo ga lupa kan, sekolah ini dibangun waktu belanda masih menjajah indo?, siang - siang aja kadang ada yang aneh - aneh, apa lagi kalo magrib begini."

Karena ucapan dari Jihan, mau tidak mau, Delia menuruti perintah Jihan. Tak terbayangkan, betapa canggung nya ia dan Ardanta di atas kuda besi yang menbelah lautan manusia.

Dengan tangan di seret dan sedikit ber lari, Jihan menghampiri Ardanta "Ar, gue titip Delia ya? tolong anterin ke rumahnya dengan selamat, bokapnya di Wa centang satu." Jelas Jihan panjang lebar.

Ardanta melihat Delia dari atas sampai bawah, menimang - nimang permintaan Jihan.

"Oke, tapi gue ga bawa helm lagi, jangan lupakan fakta bahwa kearah barat, berarti kita lewat jalan besar." Jawab Ardanta.

"Nih, pake aja helm gue, gue bisa lewat jalan tikus." Ujar Jihan sambil memberikan Helm yang ia gunakan.

Delia hanya menyimak percakapan duo teman SMP yang bertemu kembali di SMK ini, Delia rasanya ingin mencabik - cabik wajah tengil Ardanta. Sepertinya Ardanta menyusun rencana.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

Jalanan yang mulai sepi membawa keheningan pada perjalanan dua insan yang bermusuhan, siapa lagi kalau bukan Ardanta dan Delia. Sepanjang jalan hanya ada suara deru motor yang berdengung di pendengaran mereka.

Delia yang tak nyaman akhirnya memulai percakapan.

"Lo, kenal sama Jihan udah lama Ar?."

"Sebelum kenal Jihan, gue kenal Rania duluan." Jawab Ardanta.

"Kenapa lo milih sar? kenapa bukan paskibra? porsi badan lo bagus buat paskibra." Tanya Delia

"Gue suka alama, gue juga suka nolong orang, karna gue ga bisa bantu dengan uang, jadi gue pengen bantu pake tenaga aja." Jelas Ardanta panjang lebar.

"Lo sendiri, kenapa ga ikut jurnalis, kan lo suka nulis"

Delia terdiam sejenak, tak berselang lama ia mengulas senyum manis di balik helm Jihan "Suka - suka gue lah."

Setelah percakapan singkat itu, mereka kembali terdiam dengan Ardanta yang fokus menyetir kembali, dan Delia yang memikirkan ucapan Ardanta.

"Gue sebenernya pengen, masuk ekstra jurnalis."

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

"Gang kiri, rumah paling pojok."

Ardanta memarkirkan kendaraannya tepat di depan gerbang rumah Delia, ia melihat rumah itu "Sepi banger Del, lo sendirian?."

Delia hanya mengangguk kan kepalanya dan mengambil kunci gerbang di dalam tas "Mampir dulu ga? badan lo basah semua, pake baju sepupu gue dulu mau?."

"Gausah, gue cowok kalo lo lupa, ga baik malem - malem cowo cewe di dalem rumah ber 2, hujan pula" Tolak Ardanta secara halus.

Delia menatap Ardanta, meneliti dari atas hingga ujung kaki. "Lo kadang waras, kadang sengklek ya Ar."

Ardanta hanya mendegus kasar tanpa ada niatan untuk menjawab ucapan Delia.

"Yaudah, gue pulang dulu Del, langsung mandi, bikin teh biar ga kedinginan."

"Eh? Ar, tunggu in-" Ucapan Delia terhenti, sebab Ardanta yang langsung menjalankan motor nya.

Ardanta langsung melesat jauh dengan kendaraan nya, menembus derasnya hujan dan dingin malam yang semakin terasa di daerah dataran tinggi ini.

Delia menginjakan kakinya di ruang tamu, menyalakan listrik dengan tangan gemetar nya, dan memasuki area kamar.

Ia langsung memasuki kamar mandi dan membersihkan diri.

Senandung merdu gemercik air hujan, menemani Delia. Ia mengambil buku harian dan menulis cerita tentang hari ini, mulai dari ucok yang menyebalkan, Jihan yang memaksa, hingga dia dan Ardanta

Diary

Tadi siang, aku sempet kaget, lihat Ardanta sama senior SAR. Dia memang tampan, tapi kadang, aku pengen nampar mukanya

Dia perhatian, tapi dia juga usil, dia baik, tapi dia juga bikin naik pitam. Saat pertama kali bertemu dengan Ardanta, aku merasa tak akan dekat dengannya, aku akan menaga jarak, namum pada akhirnya? aku malah duduk berdua di atas kuda besi miliknya, dan membelah lautan manusia di penghujung senja.

Jihan, Rania, mereka percaya pada Ardanta, bukankah dia orang teledor? dari covernya sudah terlihat jelas. Tapi apa? dia malah ikut ekstra Sar, yang harus teliti dalam bertindak.

Aku membayangkan saat banjir melanda, dia di turun kan untuk mengevakuasi warga. Bukan warga yang dia evakuasi, melainkan kucing anggora lucu. Bukan tanpa alasan aku berpikir begitu.

Lihat, sekarang saja dia sudah meninggalkan jas hujan yang ia pinjam kan padaku saat pulang tadi.

Ardanta Mahardika, dasar laki - laki aneh.

08.4.23


Delia menutup buku Diary kesayangannya. Ia menatap langit - langit kamar, melamun memikirkan sesuatu yang tak pernah ia miliki, sesuatu yang ia tak bisa gapai.

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya "Del, tolong bukain pintunya."

"Iya yah, sebentar." Jawab Delia sambil sedikit berteriak.

Delia menbuka kunci rumah, meraih gagang pintu dengan sedikit tergesa - gesa. Saat terbuka, nampak lah laki - laki dengan badan sedikit basah dan menggigil. "Del, tadi ayah beli Martabak, sana makan, ayah mau mandi dulu."

Delia mempersilahkan laki - laki itu masuk, ia mengambil pel dan membersihkan air yang menetes dari tubus sang ayah.

Setelah membersihkan lantai, Delia berjalan menuju meja makan dan mengambil 4 piring untuk ia siapkan.

"Mas, mana Del?, belum pulang?." Tanya sang ayah setelah membersihkan diri.

"Belum yah, mas ada tugas kelompok, jadi dia lagi di rumah temennya, katanya sih, dia pulang malem." Jelas Delia.

"Ibu?." Tanya sang ayah lagi.

"Ibu juga belum pulang, kaya nya lembur, pabriknya kan lagi naik - naik nya, jadi banyak yang pesan mungkin?." Jelas Delia dengam tangan siap untuk mengambil se centong nasi hangat.

Sang ayah hanya tersenyum menanggapi jawaban Delia. Mereka akhirnya bercerita dengan canda dan tawa, walau sederhana, tapi hangatnya luar biasa.

_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_

HAY PREN

JANGAN LUPA VOTE YA SENG, KARNA SATU VOTE AJA BIKIN SEMANGAT NULIS

DAN BUAT YANG SUDAH VOTE, TERIMAKASIH SENG

WE || THE LAST CHAPTER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang