Sutan meletakkan kertas ke atas meja. Ia menghela napas panjang sembari bersandar. Menatap langit-langit ruang kerjanya yang bernuansa Eropa klasik. Ia memikirkan kejadian semalam. Di mana dia merasa memasuki dunia orang kaya yang 'sebenarnya'. "Entah kenapa, aku merasa kejadian tadi malam itu cuma mimpi," gumam Sutan. Orang yang punya banyak uang seperti Gojo pun dengan angkuhnya masuk ke butik terkenal seolah-olah dia adalah pemilik tempat. Mengerikan sekali.
"Ah, sudahlah. Ayo bekerja." Sutan kembali menegakkan tubuh. Ia mengambil kertas dan menatap tabletnya. Fokus pada pekerjaan. Tak lama kemudian, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Sutan. Ia mengizinkan siapa pun itu untuk masuk. Sang gadis tersenyum saat Hina membuka pintu dan melangkah menghampiri Sutan. "Halo, Nona Hina. Ada apa?" tanya Sutan ramah.
"Nyonya, ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda. Katanya, dia mengenal Anda dan telah menghabiskan waktu dengan Anda tadi malam," kata Hina sopan.
Sutan bergeming. Menghabiskan waktu semalam? Itu pasti Gojo, tapi haruskah dia mengatakan itu pada bawahan sang gadis? Kalimat Gojo terdengar ambigu. Itu bisa membuat orang lain salah paham. "Ah, aku memang makan malam dengan seseorang kemarin malam. Apakah dia pria tinggi berambut putih pakai kacamata hitam?" tanya Sutan. Segera menghilangkan kecurigaan yang mungkin saja timbul.
"Benar, Nyonya. Saya sudah menyuruh Tuan itu untuk menunggu di ruang khusus tamu Anda."
"Terima kasih, Nona Hina. Aku akan segera ke sana. Bertanyalah pada bawahan pria itu apa yang dia sukai dan siapkan camilan, ya."
"Saya sudah bertanya pada salah satu bawahan yang datang mengantarnya."
"Benarkah? Terima kasih, ya. Tolong siapkan." Sutan berdiri. Merapikan kertas-kertas penting itu dan mematikan tablet. la segera beranjak keluar dan melangkah ke ruang tamu yang berada di lantai bawah kantor kerjanya. Setelah keluar dari lift, ia berjalan ke arah pintu cokelat dengan ukiran abstrak. Membuka pintu itu dan disambut pria tampan yang sedang duduk di sofa.
"Oh! Sutan!" Gojo melambai disertai senyuman lebar.
Sutan membalas senyuman Gojo sambil melangkah masuk. Ia duduk di depan pria itu dan berkata, "Halo, Gojo-san. Maaf membuatmu menunggu."
"Tidak masalah. Aku yang datang tiba-tiba."
"Ah, iya, dress dan mantel semalam. Aku sangat berterima kasih, tapi rasanya berlebihan untukku menerimanya hanya karena pakaianku basah." Sutan menatap tidak enak.
"Ambil saja pakaian itu. Kau berikan padaku juga siapa yang mau pakai?" Gojo memiringkan kepala. "Kalau kau memang tidak mau, buang saja dress itu."
Sutan menghela napas. Mendengar Gojo bicara seperti itu menyadarkan Sutan kembali bahwa pria ini orang kaya di level yang berbeda. Ia bertanya, "Apa yang harus kulakukan untuk membalasmu?"
Gojo diam sebentar. Lalu berdeham panjang. Ia menyentuh dagu dan menatap langit-langit ruangan. Tampak berpikir keras untuk imbalan yang akan Sutan berikan padanya. "Oh? Kau cukup menikahiku saja," kata Gojo setelah diam beberapa saat untuk berpikir.
"Gojo-san ...." Sutan menghela napas panjang.
"Iya, iya. Aku tahu kau masih ingin mengenalku." Gojo bersandar sambil cemberut. Ah, untuk menikah dengan Sutan tidak semudah ini.
Dia jadi lucu kalau berekspresi seperti itu, batin Sutan sambil tersenyum. Gojo terlihat seperti anak kecil di matanya. Kemudian ia sadar akan sesuatu. "Gojo-san, apa kau tidak sibuk? Rasanya kita jadi sering bertemu ...."
"Hm? Sutan pikir untuk apa aku punya banyak bawahan? Untuk kerja, dong!" jawab Gojo. Ia tersenyum lebar dan senyum itu makin mengembang saat membayangkan Nanami bekerja sambil mengumpati Gojo. Pria ini suka menjahili orang.
"Ah, benar juga." Sutan mengangguk. "Bukankah bos sepertimu juga punya banyak pekerjaan? Kau ke sini bukan karena pergi meninggalkan pekerjaanmu, bukan?" Nadanya terdengar tenang dan lembut.
Gojo bergeming sambil mengangkat alis, lalu bersedekap. "Ini aneh. Enggak. Sutan aneh." Ia mengernyit. "Seharusnya kau memarahiku sekarang, seperti Nanami yang selalu saja tegas dan blablabla."
"Aku ... tidak suka marah-marah seperti itu." Sutan agak menunduk. Menatap lantai yang dilapisi karpet dengan pandangan sedih. "Ibuku selalu mengingatkanku untuk bersikap tegas, tapi jangan meninggikan suara atau membentak orang lain. Tetap tenang dan berpikir jernih. Karena itu, selama ini aku selalu mengingat nasihatnya."
" ... Hmmm." Gojo mengangguk. Anak ini terlalu baik untukku, tapi sikapnya ini yang membuatku menginginkannya, batin Gojo menghela napas.
"Gojo-san?" panggil Sutan.
"Hm? Kenapa?" Gojo menatap sang gadis.
"Kau terlihat lelah. Tidak apa-apa?" tanya Sutan agak khawatir. Apa pria ini sakit karena hujan-hujan semalam?
Gojo menyungging senyum. Ia tiba-tiba merasa sangat senang melihat tatapan khawatir Sutan untuknya. Saat hendak membalas ucapan Sutan, suara pintu yang diketuk langsung menginterupsi hingga Gojo harus tutup mulut.
Dua orang wanita masuk dan mendorong troli berisi makanan manis dan peralatan makan dan minum. Mereka berdua menata makanan dan menuangkan kopi ke cangkir kecil. Lalu meletakkan piring berisi balok gula kecil.
"Silakan dinikmati, Gojo-san. Orang-orangku menyiapkannya untukmu," kata Sutan ramah. Ia mengucapkan terima kasih kepada dua pelayan itu dan mempersilakan mereka pergi.
Gojo menatap beberapa cake, kopi, dan balok gula kecil itu. "Sutan tahu aku suka makanan manis?"
"Ah, aku hanya meminta asistenku untuk bertanya pada bawahanmu tentang makanan yang kau suka." Sutan mengangkat teko teh, lalu menuang ke cangkir. Ia melirik sekilas kue vanila yang tersaji di hadapan Gojo dan mengernyit. Kenapa cake itu terlihat familier?
"Hoo. Bagus sekali. Selamat makan!" Gojo memakan vanilla cake yang sudah ia potong pakai garpu. Pipinya langsung merona merah karena rasa manis kue yang memanjakan lidah. "Enaknya! Siapa yang membuat kue ini?"
Dia semangat sekali, batin Sutan sambil terkekeh. Ia meletakkan teko ke meja. "Tentunya koki yang bekerja di dapur." Sutan mengangkat cangkir tehnya, lalu menyesap sedikit.
"Aku mau menemuinya," ucap Gojo.
Sutan mengangguk. Ia memanggil Hina lewat pesan ponsel. Tidak lama kemudian wanita itu datang dan membungkuk hormat. Sutan berkata, "Aku minta tolong panggilkan Kiyo-san, ya, Nona Hina. Gojo-san mau bicara dengannya karena cake yang dia buat." Sutan kembali menyesap tehnya.
Hina melirik kue yang Sutan maksud. Ia agak kaget dan berkata, "Nyonya, kue itu buatan Anda."
Sutan membelalak. "Hm?" Ia meletakkan cangkir ke meja, di atas piring kecil.
"Iya, Nyonya. Tadi pagi, Anda datang ke dapur dan membuat kue sendirian. Kami menyajikan cake itu karena Tuan adalah tamu Anda," kata Hina sopan.
"Ah, benar juga." Sutan mengangguk dan tersenyum. Aku lupa dengan itu. Apa karena banyak pikiran? batin Sutan. Dia memang datang terlalu pagi hari ini, dan karena sedikit stres, ia melampiaskannya dengan membuat kue dan meminta para staf untuk memakan kue buatan Sutan karena dia membuat cukup banyak.
"Hee? Ternyata kau jago bikin kue juga, ya, Sutan," komentar Gojo menyuap satu potongan agak besar kue itu.
"Terima kasih pujiannya, Gojo-san." Sutan menatap Hina. "Nona Hina, Anda boleh-"
Suara ricuh dari luar membuat Sutan berhenti bicara. Ia menajamkan pendengaran dan menangkap suara teriakan keras seorang laki-laki yang memanggil nama Sutan. Sang gadis merinding mendengar teriakan itu, dia merasa familier dengan suara itu. Sutan melihat Gojo dan berdiri. "Maaf, Gojo-san. Aku harus keluar sebentar." Sutan langsung melangkah tanpa menunggu jawaban dari Gojo. Namun, sebelum dia sampai ke pintu. Penghalang itu langsung dibuka kasar oleh pria berambut hitam. Sutan membelalak kaget. "Eiji?"
⊱ ────── {𖡄} ───── ⊰
Sebenarnya, cerita ini ada di twitter (X) juga, tapi aku buatnya di medium (kirim link di twitter) yang sering baca AU di sana pasti tau. Aku kepikiran bikin via chat juga, tapi belum pasti.
Ann White Flo
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Connexion
FanfictionSutan harus menikah karena tekanan dari Sang Kakek juga gangguan yang dilakukan sahabat mantan pacarnya. Lalu siapakah pria yang akan dinikahinya? Dia pria surai putih. Orang ini berasal dari keluarga besar di Jepang. Terkenal dan kaya. Namun, menyi...