Perjalanan pulang terasa begitu sunyi. Seanna duduk diam di kursi penumpang, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Ia menghindari tatapan Liam, merasa jijik dan marah dengan dirinya sendiri. Pria di sebelahnya, yang pernah ia abaikan, kini telah menjeratnya ke dalam situasi yang begitu rumit dan menghancurkan.
Liam mengemudi dengan tenang, sesekali melirik Seanna dengan tatapan yang sulit diartikan. Ketika mereka tiba di depan rumah Seanna, Liam mematikan mesin mobil dan menatapnya. "Seanna, aku—"
"Sudahlah, Liam," potong Seanna dengan suara bergetar. "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi."
Liam terdiam, terlihat sedikit terkejut. Seanna keluar dari mobil tanpa berkata apa-apa lagi, langkahnya berat menuju pintu rumah. Ia tidak ingin berpikir lebih jauh tentang apa yang telah terjadi. Yang ada di pikirannya hanyalah bagaimana melanjutkan hidup setelah semua ini.
Seanna membuka pintu rumah dan masuk, mengunci pintu di belakangnya. Ia berjalan melewati ruang tamu dengan langkah gontai, merasa dunia di sekelilingnya hancur berkeping-keping.
"Seanna, kamu sudah pulang?" suara papa Seanna, Dimas, terdengar dari ruang keluarga.
Seanna berhenti sejenak, mengumpulkan kekuatannya sebelum menjawab. "Iya, Pa. Aku sudah pulang."
Dimas menghampiri putrinya, tersenyum lebar. "Bagaimana pestanya? Menyenangkan, kan?"
Seanna hanya mengangguk tanpa menjawab, lalu berjalan menuju kamarnya. Ia tahu bahwa ayahnya tidak akan pernah memahami apa yang sedang ia rasakan. Bagi Dimas, semuanya hanya tentang bisnis dan keuntungan. Ia tidak peduli saat anak gadisnya pulang pagi hari setelah semalaman ikut ke pesta bersama Liam.
Begitu sampai di kamarnya, Seanna menutup pintu dan bersandar di belakangnya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa hancur, kehilangan dirinya sendiri. Masa depannya yang dulu cerah kini terasa begitu suram.
Pikiran tentang masa depan membuat Seanna semakin terpuruk. Bagaimana ia bisa menjelaskan kepada calon suaminya nanti bahwa dirinya sudah tidak suci lagi? Apa yang akan terjadi pada hidupnya setelah ini? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin tertekan.
Seanna berjalan menuju tempat tidurnya dan merebahkan diri. Ia merasa lelah, baik secara fisik maupun emosional. Ia ingin tidur dan melupakan semua yang terjadi, tapi ia tahu bahwa tidur tidak akan menghapus kenyataan yang harus ia hadapi.
Dalam keheningan pagi itu, Seanna berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan membiarkan Liam menghancurkan hidupnya lebih jauh. Ia akan menemukan cara untuk keluar dari situasi ini, meskipun ia belum tahu bagaimana caranya. Yang ia tahu, ia harus bertahan dan terus berjuang untuk masa depannya.
***
Malam pun tiba, menyelimuti rumah keluarga Adiguna dengan kegelapan dan keheningan. Di ruang makan, Dimas meminta ART menyiapkan makan malam, berharap Seanna akan bergabung dengannya. Namun, setelah menunggu beberapa saat, ia menyadari bahwa putrinya tidak berniat untuk keluar dari kamarnya.
"Seanna, makan malam sudah siap," panggil Dimas dari luar kamar putrinya.
Tidak ada jawaban. Dimas mengetuk pintu sekali lagi, tapi tetap tidak ada tanggapan. Dengan napas berat, ia kembali ke ruang makan dan duduk sendirian di meja makan yang terasa kosong dan sepi.
Di dalam kamarnya, Seanna berbaring di tempat tidur, meringkuk dalam kehangatan selimutnya. Ia memeluk bantal erat-erat, berusaha mencari kenyamanan di tengah kegelisahannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian tadi pagi dan bagaimana hidupnya berubah dalam sekejap.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," bisik Seanna pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Bulan bersinar terang di langit malam, namun cahaya itu tidak bisa menghapus kegelapan yang menyelimuti hatinya. Ia merasa begitu kesepian dan tak berdaya.
Ponsel di meja samping tempat tidur berdering, mengagetkan Seanna dari lamunannya. Ia mengambil gawai itu dan melihat nama Liam tertera di layar. Seanna merasa dadanya sesak, tidak ingin berbicara dengan Liam, namun ia tahu bahwa mengabaikannya bukanlah pilihan yang bijak. Dengan berat hati, ia menjawab panggilan itu.
"Halo," ucap Seanna dengan suara datar.
"Seanna, bagaimana keadaanmu sekarang?" suara Liam terdengar tenang di ujung sana.
"Aku baik-baik saja," jawab Seanna singkat, mencoba menahan emosinya.
"Aku ingin memastikan kamu tidak apa-apa. Kita masih punya banyak hal untuk dibicarakan," lanjut Liam.
Seanna menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang ingin mengalir. "Liam, aku butuh waktu. Tolong beri aku ruang."
Liam terdiam sejenak, kemudian berkata, "Baiklah, Seanna. Tapi ingat, aku selalu ada untukmu. Apa pun yang kamu butuhkan, jangan ragu untuk menghubungiku."
Seanna hanya mengangguk, meskipun Liam tidak bisa melihatnya. "Terima kasih," katanya sebelum menutup telepon.
Ia meletakkan ponselnya kembali ke meja dan menghela napas panjang. Rasanya sulit untuk percaya bahwa hidupnya kini begitu terikat pada Liam. Dengan perasaan campur aduk, Seanna kembali berbaring di tempat tidurnya, memejamkan mata dan berharap esok hari akan membawa sedikit kelegaan.
***
Hari Senin tiba, langit cerah dan udara pagi sejuk, menandai awal minggu baru di sekolah. Seanna berdiri di depan rumahnya, menunggu Liam menjemputnya seperti biasa. Tidak lama kemudian, sebuah mobil sport mengkilap berhenti di depannya. Liam keluar dengan senyum lebar, memamerkan mobil barunya.
"Bagaimana menurutmu, Seanna? Mobil ini baru saja tiba dari dealer kemarin," ucap Liam dengan bangga, menepuk kap mobilnya.
Seanna hanya menatap mobil itu dengan ekspresi datar. Tidak ada kekaguman atau antusiasme dalam tatapannya. "Bagus," jawabnya singkat, tanpa ada minat.
Liam tampak sedikit kecewa dengan kurangnya respon dari Seanna, tapi ia berusaha tidak memperlihatkannya. "Ayo masuk, kita berangkat," ajak Liam, membuka pintu untuk Seanna.
Seanna masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang. Ia menatap lurus ke depan, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang merayap di hatinya. "Bisakah kita segera berangkat? Aku tidak ingin terlambat mengikuti upacara," katanya.
Liam tertawa kecil dan melajukan mobil dengan santai. "Ah, upacara itu membosankan. Aku tidak berencana ikut. Lagipula, siapa yang akan menghukum kita? Aku bisa mengurusnya."
Seanna mendesah pelan, merasa frustasi. "Liam, ini bukan tentang hukuman. Ini tentang tanggung jawab kita sebagai murid."
Liam melirik Seanna sejenak sebelum kembali fokus pada jalan. "Kamu terlalu serius, Seanna. Hidup ini untuk dinikmati, bukan untuk terikat pada aturan-aturan kecil."
Seanna memilih diam, tidak ingin berdebat lebih jauh. Ia hanya ingin hari ini berlalu dengan cepat, tanpa ada drama tambahan. Namun, dalam hati, ia merasa semakin terperangkap dalam situasi yang tidak ia inginkan.
Setibanya di sekolah, Liam memarkir mobilnya dengan gaya, menarik perhatian banyak murid lain. Mereka berdua keluar dari mobil dan segera menjadi pusat perhatian. Bisikan-bisikan dan tatapan kagum mengiringi langkah mereka.
Liam menggenggam tangan Seanna, menariknya lebih dekat. "Ayo, kita masuk. Tidak perlu terburu-buru," katanya dengan nada santai.
Seanna hanya mengikuti, merasa tidak berdaya untuk melawan. Di dalam hatinya, ia berdoa agar hari ini tidak membawa masalah baru. Namun, ia tahu bahwa selama ia terikat dengan Liam, kehidupannya tidak akan pernah sama lagi.
Mereka berjalan menuju aula sekolah, di mana upacara sudah dimulai. Liam tampak tidak peduli, namun Seanna berusaha untuk tetap tenang dan mengikuti arus. Di tengah keramaian, Seanna bertemu tatapan Lili yang penuh dengan kebencian. Ia tahu bahwa gadis itu tidak akan berhenti mencari cara untuk menjauhkan dirinya dari Liam.
Seanna menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Ia harus kuat dan terus maju, meskipun jalannya penuh dengan rintangan dan cobaan. Hari ini, ia harus menghadapi segalanya dengan kepala tegak, tanpa menunjukkan kelemahan kepada siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jerat Cinta si Cowok Red Flag
RomanceSeanna Viorella, seorang gadis berusia 17 tahun yang berasal dari keluarga kaya, mendapati hidupnya berubah secara drastis ketika kemalangan menimpa keluarganya. Perusahaan besar milik papanya bangkrut, dan sang ibu memilih untuk melarikan diri ke l...