7. pikiran darimana itu?

470 113 16
                                    

Citra sempat cemas saat Sarni menghubunginya sebelum jam istirahat siang tadi. Bibinya menanyakan jam berapa Citra pulang dan apakah dia punya agenda lain. Dia kira, ada yang gawat. Namun, Sarni malah memintanya untuk datang ke sebuah resto sepulang kerja. Citra tak mengira apa-apa sampai seorang wanita menghampiri mereka.

Dia adalah teman ibu Citra menurut pengakuannya. Selain dengan Ibu Citra, Lidya juga berteman baik dengan Hadi, pamannya. Meski tak sesering sebelum ibu Citra wafat, sesekali Lidya dan Hadi bertanya kabar dan betukar cerita tentang anak mereka- terutama Citra, anak teman baiknya.

Lidya tak bercerita lebih lanjut bagaimana akhirnya dia bisa membuat pertemuan ini terjadi, namun Citra yakin, Sarni tahu ceritanya. Nanti, dia akan bertanya pada bibinya.

Citra sebenarnya menaruh harapan yang lumayan besar pada pertemuan ini. Dari percakapan keduanya, dia tahu bahwa Lidya turut mengundang anak lelakinya yang akan dikenalkan dengannya. Namun, saat nama Zahn terlontar dari bibir Lidya, Citra sudah hilang harapan. Layu sebelum berkembang. Mengingat pertemuan terakhir mereka yang berakhir dengan tegang urat, dia yakin ini tak akan berjalan mulus.

Benar saja, saat Zahn tiba dan mereka akhirnya bertemu, lelaki itu langsung bersikap defensif. Sepertinya, dia sudah menolak pertemuan ini pada ibunya. Namun, ibunya tetap memaksa. Demi menjaga nama baik, Zahn memilih mengalah.

"Kita bikin clear aja," katanya tanpa ragu.

"Kita bisa nolak." sambut Citra.

Citra bisa apa? Meski sebenarnya dia bahagia bisa dibuat dekat dengan Zahn, tapi pria itu tidak mau! Yang benar saja! Kalau Zahn sudah sekeras itu menolak, maka dia tidak akan menyerahkan dirinya untuk jadi samsak pelampiasan Zahn di masa depan. Tolak saja sekalian! Jika memang masih ada harapan, pasti ada jalan.

"Kamu setuju kita nolak ini?" dia menegakkan badan.

"Kita tahu tujuan Mamamu dan ibuku bukan sampe sini, kan? Mereka pasti mau ini lanjut."

Pria dengan kemeja abu-abu dan fit trousers berwarna navy itu menatap Citra. Citra tidak tahu apa pekerjaan Zahn, tapi dari setelan yang dia kenakan, Zahn mestinya menghabiskan waktu di kantor, karena setelannya yang masih rapi dan bersih hingga sore begini.

Citra berdeham. "Hubungan yang mereka harapkan butuh dua orang yang setuju bekerja sama untuk bisa berhasil. Kalau cuma satu orang yang berusaha, nggak akan kemana-mana."

Zahn mengembuskan napas sambil mengangguk. "Kamu mau bilang apa sama ibumu?"

"Nggak cocok," kata Citra, dia sudah malas berpikir.

Sial! Berada di samping dan melihat Zahn sedekat ini malah membuat hati Citra kebat-kebit. Perasaan yang dia kira sudah membatu, kini seperti mencair. Dia tidak suka! Tapi, dia lebih tidak suka jika disuruh berjuang sendirian. Makasih!

"Oke, aku bisa bilang hal yang sama. Lagian, Mamaku bilang nggak ada paksa-paksaan kalau aku nggak mau,"

Citra mengernyitkan dahi. Kalimat barusan terdengar manja sekali!

"Baguslah," katanya.

Lebih baik, dia bersiap pergi sekarang.

"Kamu mau kemana?" tanya Zahn yang melihat gerak-gerik Citra.

"Pulang," katanya. "Ngapain lagi di sini? Pembicaraan kita udah selesai, kan?"

Zahn menelan ludah. "Iya, tapi-" dia melihat ke arah Lidya dan Sarni yang kini tengah menikmati hidangan di depan mereka.

Citra mengikuti tatapan Zahn. "Mau pesan makan juga?" tanyanya.

Zahn menggeleng.

"Ya udah," kata Citra bangkit.

Our Wasted Time PretendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang