12. jalani saja tanpa banyak duga

408 109 19
                                    

"Emang, kenapa kamu nggak mau lanjut sama Citra, Zahn?"

"Nggak cocok, Ma."

"Dia anaknya teman baik Mama loh, Bang. Almarhumah Mama Citra itu baik banget. Kamu pernah kami titipin sama dia waktu Papamu wisuda."

Zahn tertawa kecil.

"Apa nggak bisa coba dijajaki dulu? Minimal jalan beberapa kali gitu, siapa tahu ada chemistry."

"Mama ngotot gini karena dia anaknya teman Mama?" tanya Zahn sambil menarik kursi makan.

"Iya," kata Lidya. "Lagian, anaknya juga cantik, sopan, dan sudah kerja keras dari kecil."

"Rajin nabung nggak?"

"Mama nggak becanda ya!" Lidya mulai sewot. "Kamu emang masih normal, kan?"

"Istighfar, Ma. Ntar jadi doa loh yang nggak-nggak di pikiran Mama."

"Kami tuh emang mau jodohin kalian dulu."

Zahn tertawa. "Klasik."

Lidya mengembuskan napas. "Zaman makin canggih gini ternyata bisa bikin kalian-kalian kesulitan cari jodoh ya."

"Apa hubungannya?"

"Ya mengejar karir, mau jadi independen dulu."

"Ma," potong Zahn. "Nggak ada yang salah sama itu semua."

"Mama tahu. Mama juga nggak akan debatin ini lagi. Tapi, apa salahnya kalau kamu kasih kesempatan untuk ngobrol-ngobrol dulu sama Citra, bukan langsung nolak gitu aja."

"Ma, dia juga nolak. Bukan cuma aku."

"Mama bukannya mau sombong si, Bang, tapi kalau Citra nolak kamu, kayaknya yang salah kamu deh. Pasti cewek yang ngelihat kamu ya akan menganggap kamu ganteng dari tampilan kayak gini," tunjuk Lidya. "Emang anak Mama ganteng sih."

"So?"

"Kalau dia nggak berdebar-debar dengan tampilan begini, pasti ada yang salah sama kamu. Kamu ada buat salah sama dia? Kalian berantem? Kamu ngatain dia apa?"

"Ma, stop. Okay? Kami baik-baik aja," dusta Zahn. "Sayangnya, kami emang nggak into each other aja."

Lidya menghela napas. "Mesti nunggu berapa tahun lagi nganterin kamu ke rumah anak gadis orang, ya?"

Zahn mengehela napas tanda dia sudah malas menghadapi template ini. Ditanya dan didesak kapan menikah dengan ibu sendiri ternyata membuatnya gerah.

"Bang, maafin Mama, ya."

"Udahlah, Ma. Ngapain pake minta maaf segala."

"Ya karena maksa kamu untuk ketemu Citra dan habisin beberapa waktu bareng. Ya, kalau bukan dia, semoga baik untuk Abang."

Zahn mengernyitkan dahi. "Apaan nih, tumben? Nggak pernah ada doa-doa kayak gitu sebelumnya."

Lidya mengangguk lalu berdiri dari kursi ruang makan mereka.

"Mama pengen Abang bahagia dan dapet yang terbaik. Kalau bukan dengan orang lain, barangkali sama Citra."

"Kebalik!" dengus Zahn.

Lidya tertawa. "Ya, minimal ngobrol lewat WA."

Zahn nyengir kuda, lalu mempersilakan Mamanya untuk melanjutkan langkahnya keluar dari dapur.



Apa ini karena Zahn tidak mengikuti kata-kata Lidya sehingga pertemuan-demi pertemuan dengan Citra kerap terjadi? Rasanya seperti disetting agar dia terus menerus berada satu garis waktu dan tempat dengan Citra. Kota ini luas, EO bertebaran dimana-mana, rumah makan dan kafe nggak pernah putus untuk terus membuka cabang baru, lantas kenapa selalu ada Citra?

Our Wasted Time PretendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang