"Kamu masih main dating appnya?"
"Lah, kan kemarin setuju mau nyari lagi yang baru. Guess what?"
Citra menunjukkan ponselnya di meja. Mayli dan Desti mendekat ke layar dan kemudian ternganga.
"Besok sore," kata Citra.
"Beneran, Cit? Si Zahn itu beneran nggak ada harapan? Padahal aku suka sama dia."
"Gimana ya?"
"Padahal aku suka ngelihat dia sama kamu."
"Tahu dari mana May? Pernah lihat?" tanya Desti.
Mayli berdecak. "Kamu sih kemarin main kabur aja pas makan siang. Dia diantarin sama Zahn balik ke kantor, sampe lupa sama Wendy."
"Kamu lihat?" tanya Citra kaget.
"Iyalah." Kata Mayli bangga. "Orang lagi standby di lobi nungguin hujan reda. Eh, nongol kalian berdua."
"Emang Zahn turun sampe kamu tahu gitu?" tanya Desti makin penasaran.
"Nggak sih, cuma dia nurunin kaca jendela mobilnya aja waktu mau balik. Kelihatan sekilas,"
Citra menggeleng.
"Tuh, sampe nggak ngeh aku ada di lobi. Parah banget sih!"
"Ya, namanya buru-buru."
"Beneran nggak bisa dibaikin, Cit, perkara first impression kalian dulu? Masa sama kakak tingkat nggak ada baik-baiknya."
"Dia yang baik sama aku."
"Tapi, karena dia nganterin kamu, mungkin dia ngerasa nggak enak kali udah ngatain kamu di kafe itu."
"Plus, ternyata orang tua kami saling kenal."
"Oh my!" seru Desti. "Pintu restu terbuka lebar, Sista! Tunggu apa lagi. Gas aja! Itu adalah tanda dari semesta!"
"Dia nggak mau, gimana?" tanya Citra. "Makanya, mending kita jajaki yang baru ini."
Citra mengambil ponselnya dan kembali menunjukkan layar percakapannya dengan pria bernama Radji, seorang perawat anestesi.
"Ini kenapa orang-orang pada kesulitan nyari di dunia nyata, sih?" Desti berdecak. "Apa aku juga harus bikin akun?"
"Mana kelihatan sangat meyakinkan lagi," kata Mayli.
"Iya, kan?" Citra sumringah. "Manis banget pake lesung pipi lagi,"
"Yakin bukan scam, Cit?" Mayli mulai waspada. "Mending sama yang udah jelas aja, kan?"
"Sudah tukaran nomor Wa kalian?" selidik Desti.
"Belum, masih chat via app." kata Citra. "Makanya kita cek ombak dulu pas ketemuan besok. Kalau bahaya ya ditinggal aja."
"Perasaan kamu baru satu kali blind date, ngomongnya udah kayak suhu."
Citra tertawa. "Eh, bachelor party Edgar udah fix sama jadwal dia, kan?"
"Udah, barusan confirm." ujar Desti. "Untung dia nggak minta aneh-aneh."
"Yang minta aneh-aneh itu biasanya cewek, bukan cowok. Mau pake kue-kue asusila gitula, nggak ngerti aku."
Citra dan Mayli tertawa, sekaligus setuju dengan pernyataan Desti.
"Berkurang lagi stok lelaki idaman di sosial media," keluh Mayli. "Mantengin laki orang nanti jadinya."
"Iya juga. Tapi udah jodohnya gimana? Artinya kita mesti cari yang baru, May." tutup Desti sambil mengusap dadanya.
Tak ingin membuat kesalahan yang sama, kali ini Citra memastikan penampilannya baik-baik saja. Dia juga yakin kalau sudah tidak ada kewajiban kantor yang harus dia kerjakan. Jadi, dia bisa membuat kesan yang sangat baik pada saat pertemuannya dengan Radji. Dia juga sengaja tiba lebih dulu di tempat janjian mereka.
Saat dia memastikan penampilannya sekali lagi melalui layar ponsel, Citra lantas menyadari sesuatu. Kenapa dia begitu bersemangat untuk berkencan saat ini? Apakah sudah sekuat itu niatnya untuk punya hubungan yang serius dengan seseorang? Apakah pancingan dari paman dan bibinya yang membuat dia ingin hidup terpisah dari mereka?
Dia menyadari usianya yang hampir kepala tiga. Tapi, sungguh dia di barisan menikah bukan karena usia. Dia tidak panik atau merasa harus segera menikah hanya karena usianya. Tapi, akibat obrolannya dengan Hadi dan Sarni juga gagal kedua kalinya dengan Zahn, Citra jadi merasa terpikir untuk mulai mencari pasangan.
Citra terlempar dari pemikirannya saat ponsel di tangannya bergetar halus. Sebuah pesan dari Radji, yang mengatakan kalau dia baru saja tiba di resto. Citra meninggalkan area playground tempat dia menunggu untuk menuju pintu masuk resto.
Mengecek area parkir, Citra merapatkan dua bibirnya saat mendapati lelaki yang tengah berjalan, begitu mirip dengan foto yang dia sering lihat tiga hari belakangan ini. Pria itu juga sepertinya sadar dan langsung mempercepat langkahnya ke dekat Citra.
Dia mengulurkan tangan dengan senyum tipis. "Radji. Kamu Citra, kan?"
Citra tersenyum, membalas uluran tangan pria dengan tampilan rapi di depannya. "Citra,"
"Udah dari tadi?" tanya Radji sambil mempersilakan Citra melangkah dengan gesture tangannya.
"Nggak juga. Kamu dari RS?"
"Iya, kenapa? Masih bau obat ya?"
Citra tertawa pelan seraya menggeleng. "Kelihatan sehat," candanya.
Radji memicingkan mata, namun tawa kecil hadir kemudian. Mereka menghentikan langkah di depan pintu, karena menunggu pintu dibukakan oleh karyawan yang sedang berjaga.
"Selamat datang, untuk dua orang?"
"Iya," kata Radji.
"Saya bantu, silakan lewat sini,"
"Nice place," ujar Radji. "Kamu udah sering ke sini?" tanyanya saat sadar kalau tempat ini ide Citra.
Citra menoleh karena Radji berjalan di belakangnya. "Beberapa kali. Nasi liwetnya enak,"
"Oh, mari kita coba,"
Mereka mendapatkan tempat yang dekat dengan pintu menuju area smoking. Dua bangku kayu mengapit meja persegi dengan buku menu dan peralatan makan yang sudah disediakan di atasnya.
"Silakan panggil saya kalau sudah siap memesan,"
"Makasih, Mbak." kata Citra sebelum pelayan meninggalkan meja mereka.
Menarik napas, Citra merasa dia tidak mendapati kesan negatif dari Radji di awal pertemuan ini. Lelaki itu sopan, ramah- mungkin karena selalu berurusan dengan banyak orang di rumah sakit, dia mudah tersenyum- walaupun Citra merasa jokesnya agak garing, tapi untuk keseluruhan, Citra akan bilang iya jika diajak keluar lagi.
"Udah siap pesan?" tanya Radji.
"Aku mau ke toilet dulu," dia berdiri.
Mudah bagi Citra menemukan jalan menuju kamar kecil, karena dia sudah beberapa kali ke sini. Melewati beberapa bangku yang terisi, dia tiba di bagian pojok ruangan, tak jauh dari tempat pencucian tangan resto.
Di dalam kamar kecil, Citra hanya memastikann penampilannya baik-baik saja. Dia tidak menyangka kalau Radji jauh lebih tampan aslinya dari pada foto yang sering dia lihat. Pria itu mengenakan kemeja polos berwarna putih dan slim fit berwarna cream. Dengan potongan rambut ala-ala mullet, yang pas dengan bentuk wajahnya.
"You are okay, Citra." katanya pada diri sendiri.
Berdecak, Citra akhirnya melangkah untuk keluar. Di depan pintu, dia agak kaget dengan seseorang yang dilihatnya sedang mencuci tangan.
"Zahn?"
Pria itu mengangkat kepala dan menoleh.
"Wah, kalau ketemu lagi nanti artinya kalian jodoh tuh, Zahn. Udah, sikat aja!"
= = =
Silakan like dan commentnya kakaaak. Makasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Wasted Time Pretending
RomanceSaat ada banyak cerita romansa dimana tokohnya terlibat dalam kisah cinta pura-pura atau drama rumah tangga kontrak, Zahn tak menyangka dia akan jadi salah satu aktornya. Bersama perempuan yang dianggap Mamanya pilihan tepat. Apa yang akan dia tawa...