6. kita bisa nolak

475 104 5
                                    

Zahn mengembusakan napas setelah mematikan panggilan dari ibunya. Mau tak mau, dia membereskan pekerjaan yang masih menyita perhatian di atas meja. Maklumat dari Lidya harus dia kerjakan karena sudah kadung janji.

"Pulang, Zahn?" tanya Rolan yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Pria itu melihat jam. Tak biasanya Zahn pulang tepat waktu. "Tumben,"

Zahn tertawa pelan. "Ya, masa mesti lembur terus,"

"Karyawan teladan kan begitu,"

"Sial,"

Zahn memasukkan ponsel ke dalam saku celana, mematikan personal komputer, dan bangkit dari kursi.

"Kamu udah cek rundown buat acara CSR besok, kan?" tanya Zahn teringat kegiatan besok.

"Aman," jawab Rolan.

"Oke, kalau gitu aku jalan duluan,"

Zahn tak membuang waktu untuk segera menuju parkiran. Dia sempat berbasa-basi dengan beberapa rekan yang ditemuinya di laman parkir. Saat masuk ke mobil, dia melonggarkan dasi dan menghidupkan mobil. Suara pemberitahuan dari ponselnya terdengar pendek. Tanpa mengecekpun, Zahn yakin itu dari ibunya.

Jadi, dia langsung saja melajukan mobilnya menuju tempat pertemuan yang telah ditentukan Lidya. Ibunya berjanji ini hanya pertemuan biasa, tak ada niatan apa-apa. Bahasa halusnya silaturahmi dengan teman lama.

Meh, Zahn sudah tahu agenda tersembunyi. Dia masih ingin mendebat sang ibu dengan banyaknya fakta tentang pernikahan yang tak berjalan mulus. Namun, Lidya juga tak mau kalah dengan memberikan contoh nyata pada Zahn. Baiklah, dia akan memegang kata-kata sang ibu, bahwa ini hanya pertemuan biasa. Seandainya saja kencan butanya seminggu lalu dengan perempuan bernama Citra berjalan dengan lancar, pasti dia tidak perlu melakukan ini. Atau, haruskah dia meminta bantuan perempuan itu untuk muncul saat ini?

Dia tak ingin sengaja berlama-lama menuju tempat tujuan, namun jalanan yang agak padat cukup membantu mengulur waktu. Dia hitung, sudah tiga kali panggilan dengan nada khusus menjerit di saku celana. Menghabiskan waktu lima belas menit lebih lama, mobil Zahn akhirnya berbelok pada halaman restoran keluarga spesialis ayam bakar.

Zahn memperbaiki penampilan sebelum dia mengeluarkan ponsel dan mendapati deretan pemberitahuan dari Lidya. Menggulir layar, Zahn menghentikan jempol pada deratan nomor yang dari cuplikan percakapannya adalah Citra. Dia menggeleng. Tidak! Pertemuan pertama mereka tidak begitu mengesankan, Zahn yakin Citra tak akan bersedia membantunya.

Setelah yakin penampilannya sudah lebih baik, Zahn akhirnya keluar dari mobil.

"Sudah di depan, Mama," lapornya saat benda pipih di tangannya kembali meraung.

Dia melewati waiter yang menyambutnya dengan senyum dan mengatakan sudah ditunggu oleh ibunya di dalam. Melintasi bangku-bangku rotan dan aroma yang menerbitkan liur, Zahn dengan mudah menemukan Lidya karena ibunya kelewat excited melambaikan tangan padanya.

There they are.

Zahn bisa melihat tiga orang wanita duduk mengelilingi satu meja, dekat dengan kolam ikan di bagian kiri resto. Ibunya dan seorang perempuan lain melihat ke arahnya, namun, seorang wanita yang Zahn yakin adalah perempuan yang akan dikenalkan padanya, tak menoleh sama sekali.

"Lama banget, sih." keluh Lidya saat Zahn sudah dekat.

"Macet, Ma." dia tersenyum pada wanita teman ibunya.

"Duduk," perintah Lidya.

Berdeham, Zahn akan menertawakan dirinya nanti karena merasa deg-degan saat menarik kursi dan duduk di kursi. Dia menolehkan kepalanya pada perempuan di sebelahnya.

Our Wasted Time PretendingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang