Kehilangan.

198 43 6
                                    

"Sudahlah Laut, nanti Ayah belikan mainan ya..." bujuk Jingga pada Laut yang masih merajuk, kecewa mendapati dirinya terbangun di kamar sendiri.

Laut tetap bungkam, pandangannya tertunduk penuh kesal. Sejak bangun tidur hingga sarapan, ia sama sekali tidak mengeluarkan suara. Rasa kesal menggerogoti hatinya, membuat suasana pagi itu semakin tegang. Hingga sekarang, saat Ayahnya mengantarnya ke sekolah, Laut tetap diam membisu.

"Laut... tidak ada yang terjadi dengan Ayah dan Ibu seperti yang kamu bayangkan," ujar Jingga dengan lembut. "Sudah ya? Percayalah, memiliki seorang adik tidak seburuk itu. Kamu bis-"

Jingga menghentikan ucapannya tiba-tiba. Laut yang semula acuh sontak memandang Ayahnya yang buru-buru menepikan mobil. Jingga keluar dari mobil dan menjawab telepon yang berdering, entah dari siapa.

Laut hanya bisa melihat ekspresi Ayahnya yang mulai panik tanpa tahu isi percakapan di telepon itu. Jingga kembali masuk ke dalam mobil dan segera memutar arah.

"Yah, kita kemana? Sekolahku sedikit lagi sampai!" seru Laut, rasa kesalnya semakin memuncak.

"Kita harus pulang sekarang, sayang," suara Jingga terdengar penuh kepanikan. Matanya menerawang jalanan, sementara mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Laut kembali diam, takut mulai menguasai dirinya melihat ekspresi Ayahnya yang tegang dan cemas.

Sampai di rumah, Laut terkejut melihat pemandangan yang tidak biasa. Senja, ibunya, sudah bersiap dengan koper-koper besar, ekspresinya sama seperti saat terakhir kali mereka menghadapi situasi darurat, cemas dan tegang. 

Laut merasa kebingungan dan ketakutan, tidak ada yang memberitahunya apa yang sedang terjadi. Ia digiring masuk ke dalam mobil dengan cepat. Dalam dekapan Senja, Laut bisa merasakan detak jantung ibunya yang berdegup kencang, seolah mencoba menenangkan kegelisahan yang melingkupi mereka berdua.

"Ada apa, Bu?" bisik Laut, suaranya dipenuhi kekhawatiran. Ia mengeratkan pelukan pada ibunya, mencari kenyamanan dalam kehangatan yang familiar itu.

Senja menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum menjawab. "Maaf ya sayang, hari ini kamu libur dulu sekolahnya. Kita harus mengunjungi Kakek dan Nenek di Jakarta." Suaranya terdengar tenang, namun ada nada kekhawatiran yang tidak bisa disembunyikan.

"Lalu kenapa buru-buru sekali, Bu?" tanya Laut lagi, rasa penasarannya semakin besar.

Senja menatap mata Laut dalam-dalam, mencoba memberikan kekuatan dan pengertian melalui tatapannya. "Karena Ayahmu sudah sangat rindu dengan Ibunya, Laut. Jangan kesal dulu, oke? Nanti Ayah dan Ibu akan menuruti semua yang Laut mau, tapi sekarang sudah, jangan cemberut," katanya pelan, berharap Laut bisa mengerti situasi yang sedang mereka hadapi.

Laut mengangguk, meskipun rasa penasaran dan kekhawatiran masih menyelimuti pikirannya. Ia berusaha untuk tetap tenang, meski hatinya dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Senja mencium kening Laut, mencoba menyalurkan ketenangan dan cinta yang tulus.

Perjalanan mereka ke Jakarta terasa panjang dan penuh kecemasan. Laut memandang ke luar jendela pesawat, melihat pemandangan yang berlalu dengan cepat. Ia tahu ada sesuatu yang penting dan mendesak yang harus mereka hadapi, tetapi ia memilih untuk percaya pada kedua orang tuanya. 

*****
"Maafin Mas, Dek..." suara Jingga bergetar, matanya penuh penyesalan.

"Sudahlah Mas, bukan salah Mas. Maaf tadi aku buat Mas khawatir, aku panik sekali Mas.." balas Cristy, suaranya serak dan lelah.

"Tidak! Memang seharusnya kamu menghubungi Mas. Bagaimana kejadiannya? Kenapa bisa? Ayah tahu?" Tatapan Jingga yang penuh rasa ingin tahu menyelidik wajah Cristy yang sudah sembab karena menangis sendirian.

Laut Senja Jingga 2 - Soulmate (FreFlo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang