Hari-hari yang Jingga lalui semakin terasa hampa. Satu per satu barang dari Jogja mulai dipindahkan, namun perasaannya tetap tertinggal di ruang ICU, di mana genggaman terakhir Ibunya perlahan memudar. Setiap kali dia berada di rumah, kenangan tentang Ibunya terasa begitu nyata dan menyakitkan.
"Bu, Mas rindu..." bisik hatinya, setiap kali langkahnya menyusuri rumah yang kini terasa kosong. Setiap sudut rumah, setiap benda, setiap aroma, semua mengingatkannya pada sosok Ibunya yang penuh kasih sayang.
Suatu sore, saat menikmati semangkuk sop buatan Senja, rasa rindu itu menyeruak begitu kuat. Air matanya hampir jatuh ke dalam mangkuk, perasaan kehilangan begitu berat, menghimpit dadanya.
Dia memutuskan untuk keluar rumah, berharap udara segar bisa meredakan kesedihannya. Dengan sebatang rokok di tangan dan secangkir kopi dari pedagang di pinggir jalan, Jingga duduk merenung.
Namun, pikirannya semakin kalut. Setiap hisapan rokok, setiap tegukan kopi, semua terasa pahit tanpa kehadiran Ibunya. Perasaannya seakan terjebak di antara kenangan dan kenyataan, membuatnya semakin sulit untuk melangkah ke depan.
"Siapa yang bisa kuat hidup tanpa ibunya?" ucapJingga, sambil menahan isak yang semakin berat di dadanya. Pandangannya kosong, tertuju pada secangkir kopi yang sudah mendingin di hadapannya.
"Ya, anak-anak yang ditinggalkan ibunya, Mas. Mereka kuat..." suara berat dan serak datang dari arah belakang. Jingga menoleh dan mendapati seorang bapak penjual kopi duduk di sampingnya, menghisap rokok dengan tenang. Ucapan bapak itu menggema di telinga Jingga, seakan menembus dinding kesedihan yang selama ini ia bangun.
Terkejut, Jingga mencoba tersenyum meskipun hatinya masih terasa berat. "Ikhlaskan, toh, Mas. Kasihan ibumu. Sudah berapa lama ibumu berpulang?" tanya penjual kopi itu dengan nada penuh empati.
"Dua bulan yang lalu, Pak..." jawab Jingga sendu, suaranya bergetar menahan tangis.
Bapak penjual kopi menepuk punggung Jingga dengan pelan, senyumnya lembut namun penuh makna. "Semua akan pergi jika sudah waktunya, Mas. Lihatlah mereka," katanya sambil menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak yang sedang memungut botol bekas di bak sampah.
"Mereka semua sudah kehilangan ibunya bahkan ada yang kehilangan kedua orang tuanya..." lanjut bapak itu dengan suara pelan namun jelas. Jingga memperhatikan anak-anak itu. Meskipun mereka berada di tempat yang kotor, bau menyengat dari bak sampah tidak menghalangi tawa mereka yang riang.
"Dunia akan tetap berjalan saat ibu sudah tiada. Maka perjuangkanlah sisa waktumu di dunia, seperti anak-anak itu. Mereka memperjuangkan hidup mereka meskipun tidak layak disebut hidup sebenarnya, dan harusnya Mas juga begitu," ujar bapak penjual kopi itu dengan penekanan yang mendalam.
Kata-kata itu menggugah hati Jingga. Ia memandang ke arah anak-anak tersebut, melihat kekuatan dalam kerapuhan mereka.
Dalam keheningan senja, Jingga menghela napas dalam-dalam, menatap kosong ke arah secangkir kopi di depannya. "Saya menyesal, Pak," bisiknya dengan suara bergetar. "Terlalu sibuk bekerja... Sebelum Ibu saya berpulang, beliau sering mengirim pesan agar saya cepat pulang, ingin diantarkan ke pasar katanya... Tapi saya malah menunda, semu-" suaranya tercekat, rasa bersalah yang selama ini dia pendam akhirnya menyeruak ke permukaan, menyesakkan dada.
Bapak penjual kopi, dengan tatapan penuh pengertian, menyela dengan lembut, "Lalu untuk apa menyesal sekarang, Mas? Wes terjadi toh..."
Jingga menunduk, air mata mulai menetes, menyatu dengan hujan yang turun perlahan. "Saya menyesal, Pak... Ayah saya kondisinya semakin memburuk setelah mengetahui Ibu meninggalkannya. Bagaimana saya bisa bertahan, Pak?" ucapnya dengan suara yang semakin parau, keluh kesah yang tak pernah ia bagi di rumah akhirnya terucap jelas di hadapan orang asing.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laut Senja Jingga 2 - Soulmate (FreFlo)
RomansSemenjak bersamamu, Aku lupa cara mengeja kesepian. Seakan dunia merangkai harapan, Dalam setiap senyum dan genggaman tangan. Semenjak bersamamu, Langit pun menari dalam warna pelangi, Bintang bersinar lebih terang di malam hari, Dan gelap malam ter...