Laut Punya Adik?

276 46 9
                                    

Malam itu, di bawah langit-langit kamar yang dipenuhi bayangan dan keheningan, Jingga dan Senja merasa gelisah. Mereka berdua berbaring terdiam, menunggu siapa yang akan memulai percakapan. Keheningan terasa mencekam, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Mereka sudah lelah mencoba berbicara dengan Laut, namun anak mereka yang penuh tanya itu malam ini memilih tidur di kamar Ayah dan Ibunya.

"Yah, Bu, Anjay itu apa? Sebuah kata sapaan baru ya? Itu dari bahasa apa?" Pertanyaan Laut memecah keheningan, membuat Ayah dan Ibunya terbangun dari lamunan mereka.

Jingga dan Senja saling bertukar pandang, kedua pasang mata mereka dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan. Bagaimana cara menjelaskan sesuatu yang begitu rumit kepada anak mereka?

"E-eee kata itu bukan kata sapaan, sayang. Itu adalah kata kotor yang mengandung makna yang tidak baik.." jelas Senja, sementara Jingga hanya bisa diam, kebingungan mencari kata-kata yang tepat.

Namun, jawaban klasik itu tidak memuaskan rasa ingin tahu Laut. "Lalu kenapa Om Zeean menyapa Ayah dengan kata itu, Bu? Ayah dan Ibu juga tidak menegurnya.. berartikan itu hal yang wajar saja?"

Kata-kata Laut bagaikan pisau yang menusuk hati mereka. Jingga dan Senja kembali terjebak dalam kebingungan, merasa mati kutu di hadapan anak mereka sendiri. 

Jingga spontan menepuk jidat, merasa kesalahannya begitu jelas di hadapan mata. "Jadi begini, Laut," katanya dengan suara yang pelan. "Saat itu Ayah dan Ibu terbawa suasana haru pertemuan pertama kami setelah berpuluh tahun lamanya. Benar apa yang dikatakan Ibu, kata itu mengandung makna yang tidak baik. Maafkan Ayah dan Ibu, ya. Kami tidak menegur Om Zeean tadi..." Jelas Jingga, dengan harapan penuh agar Laut segera mengerti.

Laut diam. Pandangannya menjelajah ke segala arah, seakan mencari jawaban di balik setiap bayangan yang terbentuk di dinding. Hatinya bergejolak, namun ia akhirnya mengangguk perlahan. "Em, Ayah dan Ibu harus memberi tahu Om Zeean. Dia harus berhenti mengucapkan kata itu. Kak Keenan mengikutinya, Bu!" ucap Laut dengan nada penuh kepastian.

Jingga dan Senja saling berpandangan, hati mereka berdebar tak menentu. Apa yang sebenarnya terjadi saat anak-anak itu bermain? Mengapa Laut bisa mengatakan hal seperti itu? Pikir Jingga dan Senja mencoba mengurai benang kusut dari kejadian yang baru saja terjadi.

"Kak Keenan selalu mengucapkan kata itu saat kalah bermain game, juga saat kami berusaha berinteraksi dengannya 'diam anjay!' katanya, dengan nada marah. Kayla bilang, dia memang sering seperti itu.. Kasihan Kayla Bu, dia bisa ikutan jika terusmenerus mendengar kata itu.." lanjut Laut, dengan rasa cemas yang mendalam.

Senja tersenyum lembut, merasa bangga melihat betapa peka putranya itu. "Oh iya? Baiklah, nanti Ibu sampaikan pada Ayah dan Ibunya ya.." jawabnya dengan penuh perhatian. Di sampingnya, Jingga tak bisa berkata-kata. Perasaan bangga meluap di hatinya karena berhasil mendidik Laut menjadi anak yang begitu peka.

Laut mengangguk pelan, tapi matanya tetap terbuka, menatap langit-langit kamar. Meski Jingga dan Senja berencana untuk bermesraan malam itu, Laut enggan memejamkan mata. Ia merasa harus tetap terjaga di antara ayah dan ibunya, seakan ada rasa aman yang hanya bisa didapat saat mereka terlelap lebih dulu.

Jingga memeluk Laut dengan penuh kasih sayang, mencium keningnya dengan lembut. Senja mengusap punggung Laut, memberikan kehangatan yang membuat hatinya tenang. Laut, yang masih berusaha mengusir bayang-bayang kecemasan dari pikirannya, akhirnya mulai merasakan beratnya kelopak matanya.

*****
"AAAAA IBU, AKU TIDAK MAU ADIK, BU!!!"

"AKU INGIN SELALU MENJADI SATU-SATUNYA!!!!"

Laut terbangun dengan teriakan yang menggema di kamar. Matanya terbuka lebar, dipenuhi ketakutan yang masih terasa nyata. Nafasnya tersengal-sengal, entah mimpi apa yang baru saja mengganggunya. Sudah pukul 10 pagi, dan hari Minggu yang seharusnya tenang itu berubah menjadi pagi yang penuh kepanikan.

Laut Senja Jingga 2 - Soulmate (FreFlo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang