Pernikahan ke-dua(?)

208 42 11
                                    

"Ibu, kenapa kita menginap di hotel? Lalu, kenapa Ayah tidak ikut?" tanya Laut polos sambil merapikan pakaiannya, menatap ibunya dengan penuh tanda tanya.

Senja tetap diam. Pandangannya hampa, seakan terbawa jauh oleh pikiran yang enggan kembali. Laut masih melontarkan pertanyaan, tapi kata-katanya tenggelam dalam kebisuan hati ibunya. "Ibu..." panggil Laut sekali lagi, lebih lembut, sambil mengusap pelan bahu Senja, berharap dapat mengembalikan perhatian ibunya.

Tersentak dari lamunannya, Senja buru-buru menghapus air mata yang tanpa sadar sudah membasahi pipinya. Gerakannya tergesa, seperti hendak menyembunyikan kesedihan yang terlalu lama dibiarkan mengalir.

Laut menatap dengan cemas. Ia segera duduk di hadapan ibunya, menggenggam erat tangan Senja yang terasa dingin. "Bu, ada apa? Kenapa Ibu menangis?" Suaranya gemetar, panik, tak terbiasa melihat ibunya terisak tanpa alasan.

Senja menggeleng perlahan, lalu memaksakan senyuman. "Tidak apa-apa, sayang. Ibu hanya... rindu Kakek dan Nenek.." jawabnya lembut, menyelubungi kebenaran dengan kebohongan halus. Ia tak sanggup membiarkan putra kecilnya mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Kenapa kita menginap di hotel, Bu? Bukankah besok aku harus sekolah..." tanya Laut sekali lagi, suaranya penuh kebingungan.

Senja tersenyum lembut, meski ada semburat ragu di balik matanya. "Tidak apa-apa, sayang. Sudah lama kita tidak punya waktu hanya berdua, kan, sejak Ibu kembali bekerja?"

"Tapi, Ayah? Kenapa Ayah nggak ikut?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih pelan.

"Ayah sedang sibuk dengan pekerjaannya. Semoga saja nanti dia bisa menyusul," jawab Senja, suaranya berusaha menenangkan. Tapi, jauh di dalam hatinya, ia tahu alasan sebenarnya: ia ingin menjauh sejenak dari Jingga.

Laut hanya terdiam, mengangguk tanpa kata. Meski Ibunya sudah memberi jawaban, pertanyaan yang berputar di kepalanya tak sepenuhnya terjawab. 

Ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang membuatnya semakin bingung. Ia mencoba meraba-raba apa yang sebenarnya terjadi, namun teka-teki itu terlalu sulit untuk dipecahkan oleh hatinya yang masih belia.

*****
Sementara di tempat lain, Jingga tenggelam dalam kesibukan pekerjaannya. Berpindah dari satu pertemuan ke pertemuan lain, bertemu dengan klien demi klien, semuanya dilakukan agar ia bisa menikmati long weekend yang telah ia nanti-nantikan. Teleponnya tak henti berdering, seolah seluruh dunia sedang memerlukan kehadirannya.

Tiba-tiba, jemari Jingga yang sedang lincah mengetik berhenti. Sebuah ingatan melintas cepat di benaknya, dan tanpa membuang waktu, ia segera meraih ponselnya dan menelepon Revaldo.

"Halo, Do. Gimana? Bisa, kan?" 

"Jadi, nih? Biar gue urus sekarang, sebelum penuh," 

"Jadi lah! Lo tolong urusin ya, nanti gue transfer."

"Aman! Kayak lo nggak tau gue aja.." 

Telepon terputus. Jingga tersenyum sumringah, dan kilau kebahagiaan tampak jelas di matanya. Ada rencana besar yang sedang ia siapkan, tapi apa sebenarnya yang Jingga rahasiakan? Apa yang tengah ia persiapkan dengan begitu antusias?

Jingga telah memberi tahu Senja dan ayahnya bahwa ia tak akan pulang selama tiga hari karena ada pekerjaan di luar kota. Malam itu, ketika mendengar Senja menerima permintaan maafnya dengan anggukan kecil, Jingga merasa lega. Ia sama sekali tak membayangkan bahwa Senja akan diam-diam mengikutinya keesokan hari, hanya untuk menyaksikan sesuatu yang melukai hatinya.

Senja, dengan hati yang berat, mengiyakan permintaan maaf itu. Bukan karena rasa sakitnya telah reda, melainkan karena ia tak ingin memperpanjang masalah. Pikirannya teralihkan pada Laut, seseorang yang tidak boleh mengetahui pergolakan ini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 24 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Laut Senja Jingga 2 - Soulmate (FreFlo)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang