Heran

5 2 0
                                    

"Aster!" Panggil Radin membuat langkah kaki Aster terhenti.

Setelah penolakan tegas Radin tadi, tiba-tiba Aster mules. Alhasil, gadis itu mohon izin ke Toilet.

Karna penasaran dengan Aster, Radin juga meminta Izin dengan alibi ada telefon. Padahal niatnya ingin mengikuti Aster. Bukan apa-apa, Radin hanya takut kalau memang Aster ada niat terselubung.

"Kenapa?" Tanya Aster dengan tatapan datar. Tak lagi sumringah seperti dulu-dulu.

Radin terhenyak. Ia tak pernah melihat tatapan Aster yang begitu datar seperti ini. Karna biasanya, hanya binar mata yang ia liat dari wajah gadis itu. Radin jadi bertanya-tanya, apakah selama ini ia sudah sangat melukai gadis itu? Radin menggelengkan kepalanya atas pemikiran itu.

"Malah diem? Gue tanya kenapa, juga." Sungut Aster membuat lamunan Radin seketika buyar.

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah menyentuh dahi Aster dengan punggung tangannya. Sehingga Aster menyingkir risih.

"Apaan sih?" Kesal Aster karna sedari Radin terdiam. Kini malah laki-laki itu ingin memegang dahinya.

"Lo sakit? Lo abis minum apaan? Autan campur Baygon?"

Pletak...

"Argh."

Pertanyaan Radin yang tak masuk akal membuat Aster menabok kepala Radin. Bisa-bisanya berpikiran begitu?

"Lo kira gue mabok? Orang udah lagi niat baik juga." Sewot Aster.

Radin mengusap-usap kepalanya yang menjadi korban tabokan Aster. Ia tak menyangka Aster yang ia ketahui menyukai dirinya, malah menaboknya sekarang.

"Bukan salah gue juga nanyain begituan. Lagian gue heran aja. Ini beneran lo? Kayak bukan Aster. Biasanya, lo antusias banget kalo bicara soal perjodohan ini. Lah ini, malah tiba-tiba minta dibatalin. Lo gak punya niat terselubung, kan?" Tanpa basa-basi lagi, Radin mengutarakan semuanya.

Aster terkekeh. Sesaat kemudian, ia mendengus kesal. Sudah punya niat baik aja, masih aja Radin berprasangka buruk padanya. Tapi Aster maklum. Perubahan orang jahat menjadi baik, memang gak selalu langsung diterima oleh publik.

"Kenapa? Lo nyesel sekarang? Udah sia-siain cewek kayak gue?" Tanya Aster menggodainya.

Radin bergidik, "Ya enggak lah. Justru gue sujud syukur malahan. Nih ya."

Tanpa aba-aba, Radin malah sujud syukur beneran. Yang pasti, menghadap kiblat, dong.

Aster mendengus. Bisa-bisanya tuh cowok malah sujud syukur. Kalau begini, keputusannya menjadi yakin.

Radin merapihkan pakaiannya yang terlihat lusuh karna habis sujud syukur. Lalu, ia pun menatap Aster lagi. Kali ini serius, "Lo beneran ada niat terselubung kan?"

"GAK ADA!" Jawab Aster dengan meneriaki telinga Radin. Membuat laki-laki itu mengelus pada telinganya. Tadi kepala, sekarang telinga. Entar apa lagi?

"Keputusan gue itu, berasal dari hasil rundingan gue sama papa kandung gue. Jadi, gue gak punya niat terselubung sedikitpun seperti yang lo tuduhin ke gue." Jelas Aster yang membuat Radin kini lebih percaya.

Dari dulu Radin memang tau, kalo tuan Brechtje memang orang baik. Dan kini, Radin sangat berterima kasih dengan papa kandungnya Aster itu.

"Udah? Masih gak percaya?"

Radin menggeleng, "Udah. Gue udah percaya, kok. Makasih ya! Udah mau batalin perjodohan ini."

Rasanya seumur hidup Aster kenal sama Radin, baru kali ini ia mendengar ucapan terima kasih dari mulut laki-laki itu padanya. Artinya, apa yang ia lakukan sekarang itu, sangat berarti bagi Radin. Dan Aster, tak sedikitpun menyesali keputusannya.

***

Plak...

Tamparan tepat mengenai pipi Aster. Saat ini, baik keluarga Aster maupun keluarga Radin, mereka telah kembali ke Rumah masing-masing.

"Ma! Kenapa kak Asternya di tampar? Kasian, ma! Kak Asternya." Tentu saja saat ini, Sahira yang menjadi pembela kakaknya karna sang Ayah tiri mereka sedang perjalanan pulang.

"Kamu bikin mama malu tau, gak? Kamu kan tau, perjodohan ini itu sudah lama terjalin. Seenak jidatnya, kamu minta batalin. Kamu tau gak? Gara-gara itu, mamanya Radin memutuskan hubungan kerjasama bisnis kita!"

Mata Aster berkaca-kaca. Jadi karna bisnis? Seharusnya dari awal, Aster tau ini. Tapi dulu, ia hanyalah seorang anak kecil yang cuma mengiyakan permintaan mama kandungnya itu.

"Ma! Mama gak sayang sama Aster apa?" Tanya Aster dengan suara bergetar.

"Mama sayang sama kamu, Aster. Makanya mama jodohin kamu sama Radin. Supaya kehidupan kamu tercukupi dengan kamu menikah dengan Radin."

Aster menggeleng tak percaya, sejak kapan ibu kandungnya itu menjadi matre?

"Emang ada apa dengan Perusahaan mama? Sampe mama harus banget nikahin aku sama Radin?"

"Denger ya! Kalo bukan karna bantuan papanya Radin, Perusahaan mama gak akan berjalan sukses. Dan gara-gara kamu, mamanya Radin mutusin kerjasama kita."

"Loh, bukannya papanya Radin itu gak  masalah sama perjodohan ini? Kenapa mama sama mamanya Radin jadi yang antusias? Lagian yang yang nolong mama itu papanya Radin! Kenapa malah mamanya Radin yang mutusin kerjasama kalian?"

Plak...

Aster kena tampar lagi. Kini air mata gadis itu benar-benar mengalir membanjiri pipinya. Ia tak menyangka ternyata dirinya hanya dijadiin alat penopang kerjasama oleh ibu kandungnya sendiri dan juga ibunya Radin. Ternyata Radin memang cukup punya akal untuk menolak perjodohan ini sejak awal. Makanya perjodohan ini terancam gagal.

Karna dirinya yang antusias, alhasil dirinya lah harapan satu-satunya kedua wanita paruh baya itu. Namun semua itu sirna karna keputusannya.

"Mama tega ya? Mama cuma mikirin, Bisnis, Bisnis, Bisnis. Mama gak pikirin perasaaan aku, Ma!" Sentak Aster.

"Masih aja kamu ngelak? Kan kamu sendiri yang dulunya mau. Kenapa sekarang malah minta dibatalin? Kalo dari dulu kamu menolak, mungkin perjodohan ini gak akan pernah ada!" Tukas mama Kasih menyalahi Aster.

"Kalo dulu aku menolak sekalipun, mama pasti marahin aku, kan? Waktu itu aku masih kecil, ma! Masih polos. Semua bujukan-bujukan mama, ya aku percaya aja. Sekarang aku udah besar, Ma! Udah dewasa. Aku bisa menilai, menentukan pilihan aku sendiri!!!"

Plak...

"Mama!" Kini Sahira yang berteriak.

Tiga kali sudah Aster kena tampar. Mau sampai berapa kali Aster ditampar?

"Mama gak mau tau! Kalo kamu masih mau tinggal disini, kamu harus batalin keputusan kamu!"

Deg

Baik Aster maupun Sahira terkejut. Aster telah dibuang, kah?

"Kasih!"

Akhirnya, Bima—Ayah tiri mereka datang. Bima lekas menghampiri dan memeluk putri tirinya ini. Membiarkan putrinya itu menangis dalam pelukannya.

"Dimana hati nuranimu sebagai seorang ibu? Begini caramu memperlakukan anakmu?" Tegur Bima selaku suaminya Kasih saat ini.

Melihat itu, Sahira tersenyum miris. Bahkan Ayah tirinya jauh lebih baik daripada ibu kandungnya sendiri.

"Tidak apa-apa, Aster. Jangan pikirkan ucapan ibumu ya!" Ucap Bima begitu menenangkan.

Tapi, tidak bisa! Aster tak semudah itu melupakan perkataan ibunya.

***

Next...

A2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang