sete

34 11 3
                                    


「 結局私たちはそんなに変わらないのかもしれない 」

« mungkin kita nggak jauh beda »


"SORRY, YA," UCAP Dara dari balik bilik kamar mandi, setelah isakannya mereda. "Lo harus ngelihat gue kayak gini."

Awan bingung mau menjawab apa. Kalau boleh jujur, ia masih bingung kenapa teman barunya, yang ia kira cukup tangguh untuk melawan seseorang kayak Surya, nyatanya nggak berkuasa sama sekali begitu dihadapkan dengan lemparan telur dari agit-agit cewek tadi. Buat apa Dara mengingatkan Awan untuk nggak berurusan dengan anak-anak Beki, saat dirinya sendiri harus ditatar juga untuk berteman? Apakah Dara hipokrit?

Pada akhirnya, yang tersisa di benak Awan hanyalah sebuah pertanyaan. "Lo... kenapa digituin sama mereka?"

"Kan gue udah bilang kalau gue utas problematik?" Bahkan saat menderita, Dara tetap berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya. "Ginian mah udah makanan sehari-hari."

"Terus kenapa lo nggak ngelawan kayak waktu kemarin sama Gapat?"

Dara menghela napas panjang. "Mungkin kita nggak jauh beda, Wan."

"Maksudnya?"

"Ya gitu. Gue nggak punya pilihan." Hening sebentar, sebelum Dara melontarkan pertanyaan, "Lo ceritanya bisa ditarik ke anak-anak Beki gimana, Wan? Bukan atas kemauan lo sendiri, kan?"

「 結局私たちはそんなに変わらないのかもしれない 」


Dara bukannya nggak tahu-menahu soal senioritas di SMA Seruyan yang begitu mengakar waktu pertama kali ia masuk. Toh, mau bagaimana pun juga, ia tinggal di Jaksel. Sekolah mana, sih, di Jaksel yang nggak ada senioritasnya? Dara juga sepenuhnya sadar, kalau senioritas SMA Seruyan bisa lebih parah dari sekolah-sekolah lain di sekitarnya. Dulu, waktu Dara masih SD, SMA Seruyan sempat ramai dibicarakan di berita gara-gara ada utas bunuh diri. (Yang, herannya, sama sekali nggak membuat budaya itu berhenti.) Lalu, kenapa Dara dengan sadar memilih SMA Seruyan, selain karena sekolah itu lumayan favorit?

Jawabannya sederhana saja; SMA Seruyan punya program softball yang bagus. Sebagai seseorang yang biasa-biasa saja di bidang akademis dan nggak punya KK di daerah Kebayoran Baru yang elit, satu-satunya cara baginya untuk bisa masuk sekolah se-bergengsi Seruyan adalah dengan prestasi softball-nya semasa SMP. Yang bikin Dara agak lega, sahabatnya dari bimbelnya dulu, Nindya, rupanya melanjutkan SMA-nya di Seruyan juga. Se-enggaknya, dengan demikian, menjadi utas di Seruyan nggak akan parah-parah banget, kan?

Salah besar.

Sebenarnya, selama MPLS, semua murid-murid kelas sepuluh sudah diingatkan oleh kakak-kakak OSIS untuk nggak ikutan Beki dan entah apa ekuivalennya untuk cewek-cewek. "Kalau lo pada disuruh nongkrong sama kakak kelas, mending langsung kabur aja," kata mereka. Rencananya, sih, itulah yang ingin dilakukan Dara. Menurut Dara, dirinya nggak begitu perlu validasi sampai-sampai harus mengorbankan harga dirinya demi masuk geng anak hits sekolah. Ngapain, kalau ia bisa jadi hits dengan caranya sendiri?

"Sayangnya," ucap Dara dari balik bilik kamar mandi tempat ia bersembunyi, setelah menjelaskan semuanya ke Awan, "gue apes."

Di hari pertama sekolah, saat jam istirahat, namanya tahu-tahu dipanggil bersama lima nama cewek lain di kelasnya. Yang memanggil adalah Kak Tasha, seorang agit berambut wolf cut sebahu yang merupakan salah satu dari pimpinan agit saat itu. Layaknya guru, ia mengabsen satu per satu nama murid kelas itu yang dirasa perlu ikut mereka: "Adara Widya Saputra, Anisa Permata Sari, Dewi Lestari Anindya, Indah Pratiwi Kusuma, Raisa Setiawati Putri, sama Sinta Ayu Puspita, bisa tolong ikut gue, nggak?"

seragam ini sangat mengganggu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang