um

139 17 19
                                    


「 地面のトカゲ 」

« cicak-cicak di tanah »


"MANTEP NIH, SI paling pemberani." Remaja bertubuh tinggi tegap itu menarik kerah cowok bertubuh mungil di hadapannya, mengangkatnya seakan-akan ia adalah dumbbell lima kilogram. "Keroyokan aja kabur, gimana by one? Berani kagak lo, Cicak?" Cowok yang dipanggil Cicak itu kemudian dilemparnya kembali ke temannya, Yudhis, yang tadi menculik Cicak dari kelasnya untuk diseret ke sini.

Sebenarnya Cicak bukan nama aslinya. Nama aslinya nyastra banget, Awan Cakrawala Adiwarna, tapi utas[1] nggak tahu diri itu dijuluki Cicak di sekolah gara-gara ia pernah nekat memakan cicak hidup-hidup waktu dikerjai agit di awal-awal masa penataran, dan gara-gara itu ia langsung melegenda. Bagi Surya—sosok raksasa yang menantang Awan by one itu—Awan itu sosok enigma. Kalau kamu ketemu anaknya langsung, kamu bakal langsung ngeh kalau Awan bukan tipe anak yang cocok masuk geng-gengan sekolah. Bukan cuma karena badannya yang kurus kecil, tapi juga gelagatnya yang polos dan penakut. Namun justru itulah yang menjadi nilai plus Awan di mata Surya. Bocah itu manut-manut saja mau disuruh ngapain juga, mulai dari membelikan amer untuk tongkrongannya hingga makan cicak hidup-hidup, dan mendorong Awan sampai batas itu sudah menjadi hiburan tersendiri baginya.

Awan sendiri cuma bisa bisa menelan ludah mendengar ancaman dari Surya. Mata bulatnya memandang ke sekitar. Ada barangkali dua puluh agit yang mengelilinginya di sana, seakan-akan mereka adalah masyarakat Romawi yang menonton pertarungan gladiator. Atau, dalam kasusnya saat ini, persiapan diterkam oleh singa. Seketika ia teringat kejadian tempo hari yang membuatnya "dihukum" layaknya gladiator yang dihukum mati dengan cara dipaksa bertarung—saat para agit mengajaknya dan utas lain untuk tubir dengan anak SMA sebelah, ia kabur. Saat itu dunia seakan melaju terlalu cepat untuknya. Suasananya persis opening lagu Matraman-nya The Upstairs, mistar clurit dan batu terbang pelajar beterbangan. Suara-suara yang sama yang menyorakinya untuk by one dengan Surya adalah suara-suara yang sama yang mengata-ngatai geng anak SMA sebelah untuk memanas-manasi keadaan. Saat itu, Awan, yang nggak tahan dengan suasana di sekelilingnya, masih bisa kabur. Sayangnya, gara-gara kabur kemarin, sekarang ia benar-benar dijebak.

Bahkan jika tangannya nggak diborgol pakai dasinya Yudhis, Awan sama sekali nggak bisa melakukan apa-apa. Meski nggak ada batu atau benda tajam beterbangan, kali ini segala sesuatu jauh lebih menakutkan. Semua mata tertuju padanya. Awan ingin kabur—dalam skenario yang memerlukan fight or flight response kayak sekarang, fight jelas nggak mungkin, maka flight, atau melarikan diri dari mara bahaya, jauh lebih logis. Biasanya Awan leumayan gesit kalau berlari, tapi kini ia merasa dipenjara di dalam tubuhnya sendiri. Ia sama sekali nggak bisa bergerak, dan segala sesuatu yang menempel di tubuhnya terasa nggak nyaman. Keringat dingin ang mengalir di pelipis dan telapak tangannya. Udara sumpek Jakarta jam setengah empat sore. Kasarnya tekstur dasi Yudhis yang melilit pergelangan tangannya.

Yudhis tahu-tahu melepasnya, seakan-akan melemparnya ke tengah Colosseum untuk bertarung melawan singa. Layaknya hewan yang dimangsa oleh singa kelaparan, Awan cuma bisa pasrah. Sementara Surya sudah ancang-ancang, Awan cuma berdiri mematung.

"Cicak! Cicak! Cicak!"

"Bantai dia, Cicak!"

Awan nggak mengerti kenapa ia disoraki. Bukannya ia jelas-jelas akan kalah mau bagaimanapun juga? Semuanya—sorak-sorakan dari para agit, mata-mata lapar yang menatapnya, bogem Surya yang siap melayang menuju wajahnya—membuat Awan merasa dunia bergerak terlalu cepat untuknya.

seragam ini sangat mengganggu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang