dez

31 5 6
                                    


「 ワニのパン」

« roti buaya »


KALAU BOLEH JUJUR, Dara sama sekali belum tenang, bahkan setelah ia menangis lagi di kamar mandi selama hampir setengah jam tadi. Ia harus menerima, Awan nggak salah. Dirinya memang aneh. Mau sok-sokan melawan Kak Debbie dan sistem senioritas yang sudah begitu mengakar di sekolahnya, tapi nyatanya ia masih membiarkan dirinya disakiti oleh anak cheers yang tubuhnya bahkan lebih kecil darinya itu. Kenapa dirinya begitu pengecut? Kenapa, saat situasi dimana ia bisa melawan muncul, nyalinya malah ciut?

Dara jadi bertanya-tanya, sejak kapan budaya utas-aud-agit ada di SMA Seruyan, dan berapa banyak orang yang berhasil keluar dari sistem ini setelah diseret masuk. That is, jika ada. Seingatnya, SMA Seruyan sudah lumayan lama berdiri, bahkan sudah ada waktu kedua orangtuanya masih remaja. Sayangnya, kedua orangtuanya nggak bersekolah di Seruyan—atau di sekolah-sekolah lain di Jaksel, mengingat keluarganya sebenarnya asli Jogja dan baru pindah ke Jakarta waktu Dara TK. Yang mereka tahu, selama Dara rajin belajar dan dapat nilai bagus di sekolah (yang, jujur, agak jarang ia peroleh), nggak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Mana mengerti mereka soal dipermalukan di depan satu sekolah cuma gara-gara jalan bareng cowok? Yang ada, kalau Dara curhat ke orangtuanya, mereka akan geleng-geleng kepala gara-gara pergaulan anak zaman sekarang yang edan. Ujung-ujungnya, Dara-lah yang akan dimarahi gara-gara keluar malam dan mabuk-mabukan bareng cowok. Kalaupun orangtuanya akhirnya tetap berpihak padanya, Dara akan tambah dipelonco gara-gara ketahuan ngadu.

Dara membuka kunci ponselnya dan mencari nama Angga, sosok yang biasanya ada untuknya di masa-masa seperti ini. Lalu ia teringat, ia dan Angga sudah nggak bersama lagi. Rasanya nggak enak banget, tiba-tiba menghubungi Angga untuk curhat saat ia sendiri mengakhiri hubungan mereka dengan nggak baik-baik. Frustrasi, Dara meletakkan kembali ponselnya, menutupi kepalanya dengan bantal, dan berteriak.

"Buset, nape lo?"

Dara melepas bantal yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya dan mendapati kakaknya, Mas Dimas, di depan pintu kamarnya yang baru saja ia buka. Ya Tuhan, betapa memalukannya. Biasanya, kalau sudah begini, Dara akan melontarkan berbagai kata makian untuk mengusir Mas Dimas. Namun, kali ini Mas Dimas benar-benar ia butuhkan. Meskipun saran-sarannya lebih sering asbun dan jarang membantu, se-enggaknya Dara masih bisa meluapkan unek-uneknya pada cowok yang hanya dua tahun lebih tua darinya itu.

"Lagi bad mood gue," ucap Dara singkat. Ia lalu menepuk sisi kasurnya, mengundang Mas Dimas untuk duduk di sana. "Sini, nyet, gue mau cerita."

"Kenapa, sih, bad mood?" Dimas mendudukkan dirinya di atas kasur, sementara Dara membetulkan posisinya agar dapat bercengkerama dengan lebih nyaman. "Masih gamon sama si Angga? Balikan aja, sana, mumpung si Angga-nya kayaknya juga masih gamon."

"Mas tahu dari mana kalau gue sama Angga udah putus?" Perasaan, Dara nggak pernah cerita sama sekali mengenai putusnya dirinya dengan Angga ke Mas Dimas. Ia takut menghancurkan pertemanan mereka berdua, dan Dara yakin di titik ini hubungan Angga dengan Mas Dimas sudah cukup renggang. Siapa, sih, yang nggak merasa canggung berteman dengan saudara kandung mantan pacarnya?

"Dia yang cerita ke gue," ucap Mas Dimas. Perangainya acuh tak acuh, seakan-akan putusnya Dara dengan Angga nggak berpengaruh sama sekali terhadap pertemanannya dengan cowok itu. Mungkin, pertemanan cowok memang nggak se-baper pertemanan cewek. Entahlah. "Kalian kok bisa putus, sih, BTW? Perasaan kemarin-kemarin adem-ayem aja, deh. Kalian nggak pernah berantem, kan?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

seragam ini sangat mengganggu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang