cinco

46 10 8
                                    


「 終わりのない過去 」

«  masa lalu yang belum juga berakhir »



SAAT DARA TIBA di rumahnya, ia menemukan Angga, mantan pacarnya, di depan rumah. Cowok itu mengenakan kaus panitia pensi sekolahnya—baju yang sama yang ia kenakan terakhir kali Dara bertemu dengannya beberapa. Melihat Dara membuka gerbang rumahnya, Angga yang sedari tadi sibuk main ponsel sambil nge-pod langsung mendongak.

"Lo ngapain, Ga?" tanya Dara. Harusnya, pertanyaan barusan adalah pertanyaan retoris. Toh Angga itu sahabat kakaknya, jadi wajar banget kalau ia sering main ke rumah. Sayangnya, semenjak mereka putus beberapa minggu lalu, Angga sudah nggak pernah kelihatan lagi batang hidungnya. Mungkin karena takut canggung ketemu Dara.

"Lo-gue banget, ya, Ra, manggilnya?"

Meski tadinya Dara ingin kembali masuk ke rumahnya, perkataan Angga yang satu itu membuat langkah Dara terhenti.

Angga berjalan mendekati Dara dan menepuk pundaknya sedikit, sehingga Dara mau nggak mau menoleh. "Aku waktu itu salah apa, Ra?"

Dara menggeleng. "Lo nggak salah." Ya Tuhan, setelah kejadian antiklimaks di Taman Literasi tadi, hal terakhir yang ingin Dara lakukan adalah berurusan dengan mantan pacarnya. Sekarang Dara cuma mau rebahan di kasurnya, memproses segala sesuatu yang baru saja terjadi. Kayak fakta baru kalau Kak Gavin ternyata kakaknya Surya, ternyata. Saat dikonfrontasi Surya tadi, Dara sampai harus mengarang cerita tentang bagaimana ia bahkan nggak mengenal Kak Gavin sebelum bertemu dengannya di konser Kolongjembatan kemarin, bagaimana Dara bahkan nggak tahu kalau Kak Gavin dua belas tahun lebih tua darinya (meskipun usianya terpampang jelas di Bumble), juga bagaimana kecil kemungkinannya ia dan Kak Gavin akan bertemu lagi (padahal, ia dan Kak Gavin sudah berjanji akan sering-sering ketemuan). Sambil membuka gerbang masuk rumah, Dara menambahkan, "Kalau lo mau ketemu Mas Dimas, dia lagi nggak di rumah."

"Aku nggak nyari si Dimas."

"Terus lo mau ngapain?"

"Ng...." Merasa kalau situasi jadi seribu kali lebih canggung, Arya berjuang mencari alasan di balik keberadaannya di sini. "Charger gue ketinggalan di kamar lo."

「 終わりのない過去 」

Sore itu, sepulang sekolah, Angga dan Dara tengah bersantai di kamar, berduaan sambil curhat. Meski Angga itu agit, Dara merasa aman dengan Angga karena mereka nggak satu sekolah. Selain itu, Angga sendiri bilang kalau ia nggak pernah suka budaya senioritas yang begitu menyebar luas di SMA-SMA digit Jaksel kayak sekolahnya atau sekolah Dara. Waktu itu Dara benar-benar capek mental sepulang sekolah. Ia jadi sasaran lagi. Waktu itu, untuk pertama kalinya (yang nantinya bakal jadi berkali-kali), Dara diseret ke ruang BK gara-gara ribut dengan Kak Debbie, agit kesayangannya itu, perkara tempat duduk di kantin. Kak Debbie berusaha memperjelas kalau di sekolah ini jelas ada hierarki dalam meja kantin, di mana meja paling strategis dan enak di kantin hanya boleh ditempati oleh agit. Bagi Dara, hal itu sama sekali nggak penting. Toh waktu itu kantin sekolah benar-benar penuh. Kenapa nggak sekalian duduk di tempat paling enak, yang nggak panas tapi tetap kena angin sepoi-sepoi dari lapangan, yang kebetulan saat itu kosong?

"Sumpah, aku nggak ngerti, deh," sambat Dara sembari Angga mengusap-usap rambutnya, berusaha menenangkan suasana hati gadisnya yang semrawut. "Masa perkara meja kantin aja sampai ada pembagian utas aud agitnya?"

Angga cuma bisa menghela napas. Ia bukan tipe yang pintar memberi solusi untuk permasalahan orang. Angga lebih suka menenangkan orang-orang yang ia cintai saat terkena masalah. "Coba aku satu sekolah sama kamu, Ra," ucapnya. "Kalo aku satu sekolah sama kamu, udah habis, tuh, si Debbie-Debbie itu. Bakal kuhadapin itu semua agit yang jahat sama kamu dengan jurus rasengan."

seragam ini sangat mengganggu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang