nove

26 5 10
                                    


「 ギャビン 」

« gavin »


SEBENARNYA, DALAM HATI Dara sudah membatin kalau teman barunya ini aneh. Biasanya ia pendiam, diajak ngomong cuma iya-iya saja, tapi sekalinya tantrum ngeri. Saat sedang diam mendengarkan musik, tangannya mengayun-ayun di udara seakan-akan ia adalah kondektur. Seakan-akan ia nggak berada di ruang dan waktu yang sama dengan Dara, melainkan di semestanya sendiri. Begitu speaker kereta mengumumkan kalau mereka telah tiba di Stasiun Lebak Bulus, Awan kegirangan dan, layaknya anak anjing yang dipanggil namanya, berlari keluar dari stasiun dan menuju kedai Roti O di dekat pintu keluar stasiun.

Yang tambah aneh lagi, mbak-mbak Roti O di stasiun kenal sama dia. "Tumben pulang cepat, Wan?" tanya si mbak-mbak, yang membuat Awan seketika tegang. Shit, jangan-jangan ia ingat kalau harusnya sekarang ia ditatar agit di taman samping sekolah. Buru-buru Dara menggenggam bahu Awan, bermaksud menahannya tantrum atau, lebih parah, berlari kembali ke dalam stasiun untuk kembali ke sekolah. "Roti O-nya satu, Mbak."

Awan menoleh ke Dara, mata bulatnya terbelalak. "Gue kan udah janji mau nraktir?" Dara menjelaskan.

Mbak-mbak Roti O tersebut mengangguk, sebelum beralih ke Awan. "Cie. Pacarnya, ya?"

Baik Dara maupun Awan sama-sama menggeleng. Kenapa, sih, belakangan ini orang-orang senang banget mengira mereka pacaran? "Teman doang," Dara mau nggak mau berklarifikasi. "Teman sekolah."

Sesudah menerima Roti O dari mbak-mbak tersebut, mereka keluar dari stasiun. "Lo tinggal di mana? Jauh, nggak?" tanya Dara. "Kalau nggak jauh gue anterin."

"Nggak terlalu jauh, sih. Belakangnya RSPI," jawab Awan. Rupanya, teman baru Dara yang satu ini jauh lebih tajir dari yang ia kira. Apa pekerjaan orangtuanya sampai bisa tinggal di Pondok Indah dan membelikan anaknya headset seharga empat juta? "Tapi biasanya gue dijemput Mama...."

"Nggak papa, kita jalan bareng." Dara menarik tangan Awan yang nggak diperban, yang terlihat masih ragu. "Sekali-sekali, gitu, pulang nggak diantar Mama. Seru juga kan, ngobrol sambil jalan?"

Mengingat kekuatan genggaman tangan Dara, dan tangannya sendiri yang masih belum seratus persen pulih, Awan nggak bisa menolak. Mau nggak mau, ia cuma bisa menurut.

Sambil mereka berjalan menyusuri trotoar Lebak Bulus, Dara memperhatikan satu hal yang nggak biasa dari Awan. Cowok itu, persis kayak waktu di UGD tempo hari, mengendus-endus rotinya agak lama tanpa memakannya. Persis anak anjing. "Gue tahu wanginya Roti O itu enak," Dara berkomentar. "Tapi ngapain, sih, lo ngendus-ngendus sampai segitunya, terus nggak dimakan?"

Awan mengernyit. Ia terlihat tersinggung akan pertanyaan Dara yang, sama kayak perihal headset tadi, sama sekali nggak bermaksud buruk. (Satu lagi keanehan Awan—ia mudah sekali tersinggung.) "Gue makan, kok." Seakan-akan berusaha membuktikan diri di depan Dara, Awan menggigit sedikit ujung rotinya. "Wanginya bikin gue tenang. Dari tadi gara-gara lo ngajak gue pulang duluan, gue ngerasa nggak tenang."

"Kan udah gue bilang, kalau Gapat berani ngapa-ngapain sama lo, gue pukul?"

"Tapi katanya lo pengecut?" Awan menaikkan sebelah alisnya. "Lo aneh, deh, Dar."

Di luar dugaan Dara, rupanya Awan juga menganggapnya aneh. "Kenapa aneh?"

"Lo sok-sokan berani ngelawan kakel, tapi nyatanya lo masih nangis juga habis dilemparin telur sama agit tadi." Awan berhenti sejenak untuk menggigit kembali ujung Roti O di genggamannya. Ya Tuhan, Awan kalau makan pelan dan hati-hati banget, seakan-akan roti yang baru saja Dara belikan mengandung racun atau apa. "Sebenarnya mau lo apa, sih, Dar?"

seragam ini sangat mengganggu.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang