64

179 17 2
                                    

"Seratus lima puluh oke?"

Dax menggeleng tipis, mengangkat tangannya. "Dua ratus," ucapnya dengan peragaan jari.

Kamila menggeleng, berbisik pelan. "Kita sama-sama tidak mau kalah, namun akan terlihat mencurigakan jika kita bertahan selama itu. Kau mengalah sana!"

Kening Dax berkerut, rambutnya yang mulai berantakan bergoyang seiring derap langkah. "Aku mengalah? Kau saja sana, mana ada perempuan yang sanggup berlari selama ini. Gadis jadi-jadian!"

Dax mencibir, berlari lebih cepat. Sementara Kamila mengepalkan tangannya, urat-uratnya menonjol, menatap jengkel punggung Dax. Sudah seratus dua puluh putaran. Beberapa murid-murid sampai bosan menanti mereka berdua agar keluar lapangan. Hanya dua makhluk itu yang tersisa.

"Aneh, belum ada murid yang mengitari lapangan selama ini. Untuk ukuran latihan yang dilakukan anak-anak bangsawan ini sudah melampaui jauh."

Kamila mendengar bisik-bisik sayup itu, semakin lama mereka bertahan akan semakin mencurigakan. Tapi ego gadis itu terus merayu agar tidak kalah saing dengan Dax, jika ia menyingkir laki-laki itu akan besar kepala sebagai laki-laki paling lama bertahan saat uji lari. Dax menoleh kebelakang. Ayolah kapan Kamila akan mengalah!

Gadis berkacamata tebal itu mengejar Dax, hingga sejajar dengannya. Kamila berbisik pelan.

"Kita berhenti bersama-sama. Tapi, akan aku anggap kau menang setuju?"

Hanya cara itu yang terpikir untuk mengakhiri kompetisi lari yang tak berujung ini. Dax mengangguk, dalam hitungan ketiga saat melalui garis permulaan mereka akan berpisah.

"Satu,"

"Dua,"

"Tiga,"

Kamila dan Dax serentak berhenti, lantas saling memunggungi menuju tempat peristirahatan kelompok masing-masing. Berliana dan Aurora menyambut Kamila heboh, langsung menodongkan air minum.

"Minum ini, kau pasti hampir mati!"

Kamila menerima sodoran segelas air minum, Berliana dan Aurora kompak mengipasi Kamila. Menatap takut kulit gadis itu yang memerah panas.

"Kau pasti tidak takut gosong," celutuk Aurora. Beberapa gadis-gadis lain menatap Kamila, saling menyenggol bahu menunjuk gadis itu. Sementara di sisi lapangan yang lain Dax disambut tak kalah heboh oleh teman-temannya. Entah kapan ia mendapatkan teman sebanyak itu.

"Kau keren!"

Dax tersenyum tipis menyugar rambutnya. Membuat beberapa gadis di seberang terpekik heboh. Kamila menghela napas, sejujurnya lari seratus dua puluh satu putaran tadi tidak terlalu melelahkan, tapi kenapa mereka menatap Kamila seolah dari planet lain? Gadis itu menatap beberapa senior yang duduk dari lantai dua, membawa kertas dan pena di masing-masing tangan mereka. Dari banyaknya para senior, seorang gadis berambut merah muda menatap Kamila tak senang.

Kamila menanggapi, menarik kacamatanya lalu mengedipkan mata sebelah. Gadis berambut merah muda itu semakin berwajah masam, menggeram menantang Kamila. Tatapan sengit itu berakhir saat lonceng makan siang. Para murid-murid termasuk senior bangkit lalu menuju ruangan makan. Para senior tidak satu ruangan dengan para murid baru mereka memliki ruang khusus yang lebih mewah.

Mereka berbondong-bondong menuju ruangan makan, sampai di sana mereka langsung duduk secara terpisah, tak ada lagi batasan antar laki-laki dan perempuan saat makan, mereka bisa duduk dimana saja. Termasuk Dax, dia dengan percaya diri duduk di dekat Kamila, berhadapan dengan Aurora dan Berliana. Mereka terkejut, mengingat Dax termasuk dalam bangsawan dengan wajah diatas rata-rata.

"Apa aku boleh bergabung?"

Seisi akademi Grenaphasy pun tahu jika Berliana dan Aurora akan mengangguk. Dax dengan mantap mendaratkan bokongnya di samping kanan Kamila, tidak hanya laki-laki itu seorang, beberapa antek-anteknya juga ikut bergabung, untung Kamila duduk di barisan paling tepi.

Makan siang di mulai, Kamila yang lupa etika makan melirik ke samping kiri memerhatikan cara murid-murid yang lain makan. Dax mengetuk tangan Kamila, mendekat untuk berbisik.

"Jangan terlihat seperti orang bodoh, lihat saja caraku makan."

Kamila menatap Dax sedatar-datarnya. Batinnya berteriak ingin sekali mencincang wajah sombong laki-laki itu. Ia menghela napas, mengambil garpu dan pisau untuk menyantap steak.

Dax memerhatikan dalam, hingga makanan itu masuk ke dalam mulut Kamila. Mata gadis itu melotot, menatap Aurora yang juga sedang menyantap steak yang sama dengan. Spontan saja gadis itu bertanya.

"Ini daging apa?"

"Goblin, kenapa?"

Satu palu besar seakan menghantam kepala Kamila. Gadis itu membeku sejenak, menatap steak dihadapannya. Jantungnya seakan mencelos, perutnya berputar-putar. Apa ini termasuk kanibalisme? Barusan Kamila memakan daging dari keluarnya sendiri.

"A-aku sudah selesai."

Kamila bergegas menuju kamar mandi. Teman-teman satu mejanya menatap bingung gadis itu. Berliana bersuara. "Arayana kenapa?"

Dax berusaha terlihat normal. "Dia alergi daging goblin."

Aurora memiringkan kepala, menatap Dax. "Dari mana kau tahu?"

***

Kamila tak henti mengigit jarinya, tubuhnya berkeringat dingin. Bagaimana jika Ema, Eld atau Tetua melihat ini? Ia meraba tenggorokannya, walaupun sudah dimuntahkan tapi masih ada perasaan yang mengganjal. Ingin sekali Kamila menggorok lehernya agar perasaan mengganjal dan bersalah ini hilang.

"M-mafkan aku."

Kamila meraup wajahnya, menarik napas dalam. Ia sedang berdiri diantara barisan gadis-gadis untuk tes ke dua. Saking takutnya dengan pikiran dan rasa bersalah ia tidak mengacuhkan informasi tentang tes kedua. Wajah Kamila terlihat panik, kejadian kelam di gunung Loweos kembali berputar di otaknya.

"Arayana, kita satu tim ayo masuk ke area."

Kamila terkejut dengan suara Berliana. Ia mengangguk patah-patah, mengikuti Aurora dan Berliana menuju area balon kaca. Tes kedua adalah sihir. Para murid-murid yang telah di bentuk kelompok akan bekerjasama untuk menerbangkan sebuah balon kaca yang menggunakan salah satu material terberat di dunia ini.

Kamila dan teman-temannya mulai mengacungkan tongkat sihir, dua detik kemudian balon itu perlahan terbang sedikit demi sedikit, semakin tinggi. Kamila mencoba fokus, menahan agar hanya sihir sucinya yang keluar. Balon kaca itu berubah warna menjadi warna pelangi, lalu setelah melayang di atas kepala tugas mereka belum selesai. Balon tersebut akan membelah diri layaknya cacing.

Level semakin sulit untuk mempertahankan balon itu dibutuhkan energi sihir yang besar dan tingkat fokus yang tinggi. Beberapa orang menganggap ujian ini lebih mudah dari sebelumnya, namun bagi Kamila ini adalah neraka.

Plasss!

Kamila menjatuhkan balon kacanya. Gadis itu menatap balon kaca yang mengeluarkan air lalu menghilang, orang-orang menatapnya aneh. Ini baru dimulai kenapa sudah ada yang gagal? Ia menghela napas panjang, menjatuhkan tongkat sihir lalu keluar dari area tes.

Satu tangan berhenti mencatat, menatap punggung rapuh yang semakin mengecil.

"Ada apa Lian?"

Laki-laki bermanik biru itu menggeleng, menatap angka yang baru ia tuliskan di samping nama Arayana.

"Aku seperti ditarik lagi dalam sore itu."

***

TBC.....

 Reincarnation Of A Wibu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang