the memory

422 46 5
                                    

.
.
.
.

"Gua janji bakal mikirin itu, Ji. Mungkin suatu hari nanti, gua juga bisa bahagia," ucap Gin akhirnya, meskipun hatinya masih ragu.

Riji tersenyum tipis dan menepuk bahu Gin. "Gua cuma pengen lo bahagia, bro. Jangan lupa, lo juga punya temen-temen yang peduli sama lo."

.
.
.

Happy Reading

.
.
.
.

“Papihh!” teriak seorang perempuan bersurai putih sambil berlari memeluk Rion.

“Papi, ueueue lama banget ga ketemu!” kata perempuan itu penuh semangat.

Rion menjauhkan dirinya, merasa bingung dan tidak mengenal perempuan tersebut.

“Maaf, siapa ya? Salah orang mungkin?”
Mia diam menatap Rion, antara kaget dan bingung.

“Papi...” panggil Mako yang baru datang, ikut merasa bingung melihat reaksi Rion.

“Kayanya salah orang. Saya belum menikah, maaf,” ucap Rion kemudian, sebelum berbalik dan pergi meninggalkan mereka berdua.

Mia dan Mako saling menatap, kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. "Ada apa dengan Rion?" tanya Mako.

“Ade ga tau,” jawab Mia sambil menggelengkan kepalanya.

Mako mengeluarkan ponselnya, berusaha menghubungi teman-temannya. “Halo, Krow,” panggilnya.

“Iya? Mau ketemu dimana? Katanya lo sama Mia udah sampai ya?” tanya Krow di ujung telepon.

“Di karnaval aja, Mia ngajak ke sana. Btw, Rion kenapa?” Mako bertanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Krow menghela napas kasar. “Rion hilang ingatan udah lama. Kalau mau lebih jelasnya nanti aja pas ketemu, gua ceritain.”

Mako diam, tidak menjawab, langsung mematikan teleponnya. “Kenapa, Kak?” tanya Mia.

“Kata Krow nanti aja kalau ketemu di karnaval. Dia bilang Rion hilang ingatan sudah lama,” jawab Mako.

Mia terkejut mendengar penjelasan Mako. "Jadi itu sebabnya dia ga kenal kita?" tanyanya dengan suara bergetar.

"Iya, kelihatannya begitu," jawab Mako dengan nada sedih.

___________________________________________

“Siapa cewe itu sebenarnya? Papi?” gumam Rion, merasa sebuah memori buram melesat di otaknya.

Panggilan "papi" itu terus berputar di kepalanya, membuatnya semakin pusing.

Rion memejamkan mata, mencoba mengingat lebih jelas. Wajah-wajah samar muncul dalam pikirannya, tetapi tidak ada yang cukup jelas untuk dipegang. Ia menggenggam kepalanya, merasakan sakit yang menusuk.

“Kenapa semuanya begitu membingungkan?” desah Rion.

Rion menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya, suara ketukan pintu terdengar. “Masuk,” serunya.

Caine masuk membawa beberapa berkas di tangannya, “Pak in—”
“Rion,” potong Rion. “Panggil Rion,” ucapnya sambil menatap tajam ke arah Caine.

Caine berusaha menghindari kontak mata dengan Rion. “Rion, ini ada beberapa berkas dari proyek yang sedang berjalan,” katanya, suaranya sedikit gemetar.

Rion mengulurkan tangannya untuk mengambil berkas-berkas tersebut, matanya masih tertuju pada Caine. “Terima kasih. Ada hal lain?” tanyanya dengan nada yang lebih lembut.

Caine menggelengkan kepala. “Tidak, itu saja. Kalau begitu, aku pamit,” ujarnya sambil berbalik hendak keluar dari ruangan.

Namun, sebelum Caine sempat mencapai pintu, Rion memanggilnya lagi. “Caine, tunggu.”

CHANA'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang