"Bun, Rara ngelanjut ke SMA Gema Bangsa aja, ya."
Keputusan mendadak ku itu lantas membuat Bunda nyaris menjatuhkan telur dadar yang sedang ditiriskannya ke piring.
"Kok gitu, Ra?" Oia, di rumah aku biasanya dipanggil Rara.
Bunda kemudian menoleh. Dari tatapannya aku bisa melihat sorot protes. Selaku manajer keuangan rumah tangga jelas anggaran ke sekolah-ku di masa mendatang sudah dipikirkannya matang-matang. Sangkin matangnya jika ada yang di luar rencana Bunda sudah bisa memperkirakan.
"So...soalnya, kan pasti susah Rara lolos seleksi ke SMA nya Mbak Tria."
"Kamu nya aja yang males belajar," sahut Mbak Tria yang baru keluar dari kamar mandi.
Ah, kalian yang otaknya encer tak akan mengerti betapa sulitnya memahami pelajaran di kelas setiap hari. Belum lagi kalau harus menghadapi ulangan dadakan atau kuis spontan dari guru. Atau gimana caranya mengarang PR untuk disetorkan di hari esok. Udah begadang ngerjain tetap aja hasilnya angka merah. Beneran dicontreng pakai tinta merah tebal segede gaban, lalu dipamerkan guru itu di depan kelas. Ah, ini kejam! Kalian tidak mengerti.
"Ada saatnya kita nggak boleh mimpi ketinggian, Bun." Aku masih berusaha.
"Tapi ada saatnya kita nyoba dulu baru tahu hasilnya," ucap Bunda. Ya, sangat quoteable. Bisa di-highlight saat kalian membaca bagian ini. Tetapi untukku yang sedang tidak bertekad besar kata-kata mutiara sebagus apapun hanya jadi angin lewat. Wuuush, hilang kemudian.
"Sekolah di mana aja bebas asalkan sekolah yang rajin." Ayah is my bestie! Beliau menyahut begitu akan bergabung di ruang makan.
"Nah, itu tuh ayahmu. Paling pinter bikin Bunda kelihatan pemaksa dan kejam."
Aku udah heboh mengacungkan dua jempol ke arah Ayah karena merasa dapat dukungan.
"Tapi kalau Bunda minta Rara berusaha ya apa boleh buat?" sayang nya ayah pendukung yang bisa terbawa arus suasana politik yang terkuat. Jadi aku lanjut ke mode pasrah.
"Mbak Rara pasti bisa." Si Bungsu, Toya menyemangati.
Aku hampir terharu. Walau masih SD tapi anak ini bijak, tapi lebih banyak bandelnya sih.
"Bisa kewalahan," lanjutnya. Nah, kan... baru juga terharu udah dibuat termehek-mehek.
Di sekolah, tepatnya di dalam kelas aku melanjutkan renunganku akan rencana setelah lulus nanti. Aku sungguh-sungguh tak punya tekad untuk melanjutkan sekolah ke SMA Negeri nanti. Alasan pertama tentu saja karena kapasitasku yang bahkan tak memenuhi peringkat sepuluh besar di kelas. Tidak juga layak dapat bantuan BOS karena nominal gaji ayah yang lumayan. Padahal pada faktanya kami di rumah serba pas-pasan (bahkan kurang).
Alasan kedua karena Putri juga nggak mau lanjut ke sana. Ya, bukan karena aku mau ngekor Putri juga tapi punya teman seperti Putri itu bagaikan rejeki yang nggak bakal datang dua kali. Udah pintar, baik hati, terus nggak pelit. (Dipuji-puji biar kita tambah disayang sahabat).
Alasan terakhir... hehe, kalian tahu lah apa.
Iya, karena rasa ingin lebih kenal dan tahu soal cowok SMA itu. Akan lebih mudah melacaknya kalau kami satu sekolah, satu area kekuasaan. Soalnya di sekolah ini anak SMA kelihatan lebih berkuasa, bahkan mereka boleh main ke area anak SMP. Walau kalau ketahuan pasti ditegur sama guru BK.
Dengan adanya 3 alasan ini bukannya udah cukup sebagai alasan tujuanku melanjutkan SMA di sini, kan?
Iya, kan?
***
Hari demi hari berganti. Dengan cepat membawa jalannya waktu. Benar saja, tak ada keadaan yang bisa membawaku bertemu lagi dengan cowok SMA itu. Bayangkan, sudah 6 bulan berlalu. Cowok itu makin tak nyata sedangkan jadwal ujian sudah semakin dekat di mata.
![](https://img.wattpad.com/cover/372271151-288-k897953.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
My Hijab (Love) Story
Teen FictionGara-gara video interview konten Tiktok-ku viral, akun ku jadi ikutan ramai. Saat itu aku ditanyai "Kak, apa alasan istiqomah pakai hijab Syar'i" Aku jawab, "karena Allah." Ya Allah, kok kesannya munafik, ya? Soalnya cerita tentang hijrah dan alasan...