Apapun masalahnya, jangan pernah berpikir lo sendirian di dunia.
Selalu seperti ini.
Nara merasa hidupnya berjalan di tempat. Setiap kali meluapkan amarah, melepaskan kesal yang menggumpal, rasa sesal tiba-tiba datang, memberi isyarat seolah apa yang telah ia ucapkan sebelumnya adalah kesalahan.
Tante, tidak, maksudnya Mama selalu memiliki tempat khusus di dalam hatinya.
Nara menghela napas panjang, merasa pernapasannya sesak, dadanya masih bergemuruh berselimut marah, tapi pikirannya menolak untuk bersedih.
Dia perhatikan kedua pasang kaki yang tak memakai sandal, telapak kakinya sudah sakit karena beberapa kali menginjak batu kecil tajam.
Lalu Nara tersenyum tipis, memalukan sekali, ia pergi tanpa memikirkan diri sendiri dalam keadaan mengenaskan seperti ini.
Pikirannya kalut. Saat ini yang ingin Nara lakukan adalah berlari sejauh mungkin, tidak melihat wajah Tante Trisa, mencoba meredakan sakitnya sendiri meski kepayahan.
Setiap kali merasa kalut, Nara selalu pergi ke tempat bermain yang ada di komplek perumahan. Sudah satu tahun ini, taman bermain yang diisi oleh ayunan, perosotan, dan jungkat-jungkit mini menjadi tempat pelariannya.
Rasanya menyenangkan melihat beberapa anak bermain hingga satu persatu dijemput oleh orang tua mereka, Nara seolah menyerap energi itu, sebab masa kecilnya tidak pernah dipenuhi kenangan seperti itu.
Papa memang mencukupi kebutuhannya, membelikan tas, baju, dan beberapa kebutuhan dasar lain, tapi semenjak berkenalan dengan perempuan baru perhatian Papa berkurang, sudah tidak lagi seperti dulu, membuat Nara kian merasa jauh hingga berujung canggung sampai sekarang.
Sedangkan Tante Trisa, yah... tidak ada yang berubah. Selalu dingin dan tidak tersentuh.
Nara merebahkan tubuhnya di dalam perosotan kecil, menengadahkan kepala menatap bulan dan bintang yang bersinar malam ini. Dia tidak mau mengasihani diri, tapi entah kenapa, bulan yang bersinar terang saat ini terlihat seperti sedang mengolok dirinya yang kesepian.
"Tante."
"Kenapa?"
"Kenapa Tante gak mau aku panggil Mama?" Pertanyaan polos seorang bocah perempuan yang baru berusia tujuh tahun. "Semua orang di sekolah punya Mama, dan mereka gak sebut Mamanya dengan panggilan Tante."
Trisa diam, tidak menjawab, terlihat mengabaikan dan fokus pada berkas-berkas di depannya.
"Tante," panggilnya lagi. "Kenapa Papa jarang datang ke rumah?"
"Papa punya anak lagi ya selain aku? Berarti Papa udah gak sayang aku? Apa karena aku nakal makanya Papa cari anak baru lagi?"
Trisa memejamkan mata, pusing dengan sederet pertanyaan Nara yang sudah satu minggu terakhir ini tidak bisa diam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Promise
Teen FictionKepada langit yang dititipkan riuh oleh laut. ... Nara itu berisik. Suka ngomong tidak jelas. Tidak bisa diam. Juga sering bertingkah aneh dengan pantunnya yang kelewat cringe. Sedangkan Langit tidak suka hal-hal merepotkan. Langit dan Nara bagaikan...