"Mamah nyuruh kita nyewa gedung."
Napas dihembuskannya pelan. Mikrofon beserta alat tulis dititipkan pada salah seorang rekan.
Lalu, ia menyingkir dari lokasi tempatnya siaran, bergerak tak tenang menuju tempat yang sedikit lengang dari keramaian, dengan tetap menempelkan ponsel di dekat pendengaran.
"Kenapa nggak di rumah aja, sih, Rick?! Toh, halaman rumah aku juga luas. Sewa gedung tuh nggak murah. Kalo di rumah 'kan, uangnya bisa dialokasiin buat kebutuhan yang lain."
"Ya udah, sih, Nad. Lagian dananya juga ada."
"Iya emang ada, tapi mending buat yang lainnya. Buat tambah-tambah bayar cicilan rumah, kek. Beli perabotan, kek. Atau apa lah nanti. Kebutuhan setelah nikah tuh banyak, Ricky!"
Di sini Nada sekarang. Di gang sempit yang tak banyak dilewati orang. Menyandarkan punggung pada sebuah tembok lapuk, tanpa memikirkan nasib seragam siarannya yang bisa saja kotor.
"Iya, tahu! Tapi, ini sekali seumur hidup, loh, Nad."
"Justru itu, Ricky! Ngumpulin uang bertahun-tahun cuma buat dihabisin dalam waktu sehari?! Nggak masuk akal."
"Ya udah, sih, aku juga 'kan yang bayar! Udah kamu terima aja lah!"
"Iya tahu kamu yang bayar! Tapi, ya masa aku nggak mikirin gimana capeknya kamu ngumpulin uang itu!"
"Nggak usah dipikirin! Kebanyakan mikir malah nggak jadi nikah nanti kita."
Nada tundukkan kepala memandang sepasang kaki telanjangnya yang menapak di stapak, entah sejak kapan terlepas dari balutan sepatu hak tinggi yang mencekik jari-jari.
"Lagian emang kamu nggak pengen punya konsep nikah impian kayak temen-temen kamu?"
"Nurutin gengsi, nggak akan ada habisnya, Rick!"
"Bukan masalah gengsi, Nada. Itu loh nanti tamu-tamu dari redaksi kamu sama dari perusahaan aku, datang jauh-jauh ke Sukabumi, dengan jumlahnya yang pasti nggak sedikit, emang cukup rumah kamu nampung mereka semua?"
"Seenggaknya kita sediain tempat yang nyaman buat mereka, lah. Biar mereka yang datang dari jauh nggak kecewa."
Lirih, nada bergumam, "Emang mereka bakal dateng? Kayaknya, sih, enggak."
Seseorang di seberang sana, menghembuskan napas cukup keras hingga kuping Nada berhasil menangkap kesan penat di dalamnya.
Pelan, sosoknya bicara, "Bisa nggak, buang dulu asumsi-asumsi kamu itu?"
"Mereka semua sibuk, Rick! Nikahan kita nggak lebih penting dari urusan mereka yang lain! Apalagi dengan posisi kita yang nggak begitu penting: aku cuma penyiar lapangan, kamu cuma mekanik?"
"Ya, siapa tahu 'kan?! Kita harus mikirin kemungkinan terburuknya, Nad. Lagian sewa gedung juga bukan cuma demi kenyamanan temen-temen kerja kita, tapi juga tamu-tamu yang lain. Kenyamanan keluarga aku, keluarga kamu. Biar keluarga kamu nggak harus repot beberes setelah ...."
"Neng Nada!"
Nada menjauhkan ponsel dari telinga, menoleh pada seorang laki-laki yang baru saja memanggilnya di ujung gang sana, "Iya, Pak?!"
"Dua menit lagi on screen, ya."
"Baik, Pak." Sambil mengenakan kembali sepatu haknya, ia dekatkan lagi ponsel ke telinga, "Aku kerja dulu."
"Satu menit! Dengerin aku satu menit aja!"
"Udah ditungguin. Kita obrolin lagi nanti."
"Nad, aku butuh kepastianya sekarang. Biar bisa secepatnya nyari!"
Sambungan telepon diputus. Sedikit berlari kecil ke dekat rumah yang semalam diinformasikan hangus terbakar. Ponsel dititipkan. Buku catatan di tangan kiri dibaca sembari tangan kanannya memasang mikrofon.
Salah seorang rekan berkata, "Kak Nada, ini ada telepon."
Nada hanya melirik sepintas lalu begerak menuju depan kamera setelah menjawab, "Biarin aja."
Ricky
aku udah booking gedungnya.
Ricky
berdering
"Halo."
"KAMU KENAPA SEENAKNYA SENDIRI, SIH?! KAN KITA KEMARIN UDAH SEPAKAT BUAT PESTA DI RUMAH AJA, RICK!"
[]
KAMU SEDANG MEMBACA
THE SUNSET IS BEAUTIFUL, ISN'T IT? [END]
RomanceRicky dan Nada menemui banyak keraguan pada bulan-bulan menjelang pernikahan. "Kalo nggak yakin, mending batalin!" short story by linasworld