bagian 6: nada atau langit jakarta

326 89 35
                                    

Konon, langit Jakarta telah lama menahan tangisannya. Segala sesuatunya kering, berdebu, retak, berasap, dan—beberapa hal di antaranya—mati.

"Enggak!"

"Nad, aku ngundang semua temen kelas aku, masa Ranti dikecualiin, sih? Apa pantes begitu?"

"Aku nggak akan gini kalo dia bukan mantan pacar kamu."

"Ya ampun, Nada! Cuma mantan doang!"

"Cuma? Bukan! Mantan terindah, tepatnya! Ya, 'kan?!"

Namun, malam itu, terdengar suara hujan deras yang menderu-deru di luar sebuah unit hunian sederhana di kawasan Jakarta Selatan, membuat suara dua manusia yang tengah beradu mulut menjadi terdengar samar.

"Jangan kira aku nggak tahu, Rick, kalo kamu sebetulnya masih ngarepin dia pas awal-awal kita pacaran."

"Siapa yang ngomong?!"

"Nggak ada yang ngomong! Tapi, dengan kamu bela-belain ngambil cuti kerja cuma buat dateng ke wisudanya, dengan kamu sering ngeluangin waktu buat ngumpul bareng temen-temen kelas kamu yang mana selalu ada dia di sana, sampai kamu naruh nama dia di daftar tamu undangan pernikahan kita ... bukanya udah jelas kalo kamu, dari dulu sampai sekarang, sampai pernikahan kita udah tinggal hitungan hari, ...."

"... kamu masih nggak bisa lupain dia?"

Ricky masa itu duduk di kursi, dikelilingi oleh kertas undangan di meja yang sebagian sudah tertata sebagian lagi masih berserakan, dihadapi oleh Nada yang menatapnya begitu tajam.

"Iya."

"Iya apa, Rick?!"

"Iya pernikahan kita udah tinggal ngitung hari. Jadi bisa nggak, sih, masalah sepele nggak usah digede-gedein?! Aku udah sering ngomong, buang asumsi-asumsi kamu yang nggak berdasar itu!"

Jari-jari Nada mengepal. Pun, bibirnya mulai gemetar.

"Sepele kamu bilang? Emang kamu nggak pernah denger cerita pengalaman orang-orang batal nikah gara-gara mantan tiba-tiba dateng lagi? Nggak pernah denger kamu, Rick?!"

"Nggak peduli aku, Nad. Udah pusing mikirin gedung, dekor, katering, dan segala macem. Nggak ada waktu buat mikirin cerita pengalaman orang!" Ricky kembalikan atensinya pada kertas-kertas di depan—dilipat, dilabeli, hendak dimasukkan ke dalam plastik bening namun gerakannya terhenti.

Sebab, atensi Ricky diseret paksa Nada menuju-nya, menyaksikan perempuan itu bangkit dari kursi dengan tidak santai sehingga menimbulkan bunyi derit yang tak pelan, menyaksikan perempuan itu mengobrak-abrik undangan yang sudah tertata rapi lalu mengambil satu yang tertera nama Ranti Safitri Andiani.

Hendak Nada singkirkan karena merasa percuma membicarakan—dengan Ricky—betapa hal ini terasa mengusik pikirannya. Selamanya, Ricky tidak akan peduli dan hanya akan menganggap Nada kekanak-kanakan.

Namun, pergerakan Nada terhenti. Ricky menahan lengan perempuan itu, "Jangan kayak bocah, deh, Nad!"

Benar bukan? Persis seperti apa yang Nada pikirkan. Ricky hanya akan menganggap Nada kekanak-kanakan.

"Kalo kamu masih kayak gini terus, bisa-bisa bukan dia yang bakal bikin pernikahan kita batal, tapi KAMU! Kamu, Nad!" tegas Ricky, berhasil membuat Nada melepas genggaman dari kertas undangan di tangan dan membuat itu beralih ke tangan Ricky.

"Iya, belain aja terus dia, Rick! Dengan gini, makin jelas kalo kamu emang masih ngarepin dia!"

Hampir saja Ricky letakkan kembali kertas itu di meja. Gumaman Nada-lah yang menyebabkan ia bergeming, menaikan pandangan, memandang Nada tenang sekaligus geram di waktu bersamaan.

THE SUNSET IS BEAUTIFUL, ISN'T IT? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang