Setelan jas putih itu sekilas nampak pas di badan Ricky, tetapi tidak begitu ketika dilihat secara cermat dari dekat.
Alis Nada bertaut pun dahinya berkerut. Tangannya mengambil tangan Ricky yang kanan juga yang kiri. Memastikan bahwa penglihatannya benar. Lengan jas ini sedikit mengatung, tidak menutupi seluruh lengan Ricky yang entah bagaimana bisa begitu panjang.
"Nggak apa-apa, nanti kan pakai kemeja." Dan, Ricky seperti bisa membaca apa yang Nada pikirkan.
Nada gulirkan pandangan, menatap Ricky, tak setuju. "Nggak. Jelek!"
Melepas jas yang Ricky kenakan lalu membawanya ke salah satu pegawai butik yang berdiri di belakang sana.
Iya, mereka sedang melakukan fiting baju pengantin di butik yang dua minggu lalu mereka kunjungi. Sebuah pencapaian hebat mengingat tiada hari tanpa mereka berdebat.
"Maaf, Kak, kalo harus memperbarui ukurannya, dari pihak kami tidak bisa."
"Loh, Mbak! Kan ini kesalahan kalian. Yang ngukur badan calon suami saya juga kalian. Kalo ini nggak pas, ya, harus berani tanggung jawab dong! Kita kan udah bayar full!"
"Mungkin bisa, tapi harus menunggu lagi agak lama. Ya, kira-kira, dua minggu lagi, Kak."
"Dih! Nikahan saya aja seminggu lagi! Nggak bisa gitu, ah! Coba mana panggil Mbak Ayu-nya saya mau komplen langsung ke dia!"
Di tengah aksi protes Nada, Ricky meraih lengan perempuan itu dan berbisik, "Nad, udah, atuh! Nggak enak diliatin orang!"
Nada singkirkan tangan Ricky dengan gerakan cepat, "Entar dulu, Rick! Ini biar jelas!"
"Baik, saya panggilkan Mbak Ayu-nya, ya, Kak. Paling nanti kalo mau agak cepat, ada penambahan biaya, Kak."
"Loh?! Nggak bisa gitu dong! Itu kan tanggung jawab pihak sini, ngapain saya mesti bayar lagi!"
"Nad, udah sih, sini aku bayar aja, nggak apa-apa!" Dompet sudah dikeluarkan dari saku celana, sudah dibuka.
"Nggak! Kamu diem, Rick!" Namun, Nada mencegah Ricky mengeluarkan sesuatu dari dompetnya itu.
Sambil mencekal tangan Ricky, Nada bicara lagi pada si pegawai, "Udah lah buruan panggilin Mbak Ayu aja!"
"Maaf, Kak, Mbak Ayu belum bisa ditemui karena beliau sedang survei bahan."
"Saya tungguin!"
Nada adalah manusia yang akan memperjuangkan haknya sampai akhir. Sementara, Ricky hanyalah manusia yang ingin segalanya cepat selesai. Inilah kenapa mereka bisa dipertemukan.
Dan, pertemuan itu dimulai dari sini, dari depan gedung DRPD. Saat semua orang sibuk berunjuk rasa, berteriak sambil membentangkan dan mengangkat tinggi-tinggi tulisan bernuansa 'Tolak Omnimbus Law'.
"Ricky!"
"Apaan?!"
"Nggak akan ke mana-mana 'kan lo?!"
Saat itu, di antara banyak mahasiswa dari berbagai kampus, ada Ricky, si pemakai almet hijau tua yang hanya berjongkok di trotoar dan menyandarkan punggung pada pagar. Di depannya, teronggok kardus isi air mineral dan nasi bungkus.
Mendongak sambil menyipitkan mata karena silau, "Enggak, gue di sini aja, bagian jaga prasmanan," Ricky menjawab pertanyaan Joshepine, perempuan tomboi nan pecicilan, teman satu almetnya.
"Dih! Letoy amat lo jadi laki!"
Bodo amat.
Ricky tidak peduli orang hendak berpendapat apa.
Yang jelas, Ricky berpikir sekuat apa pun rakyat bersuara, pemangku kebijakan tetap menjunjung tinggi kepentingan golongannya sendiri. Jadi, percuma saja. Buang-buang energi, menurut Ricky.
Kalau bukan karena ia adalah satu dari sekian anggota BEM kampusnya yang mayoritas ikut terjun ke TKP aksi demonstrasi ini, tentu ia akan memilih membereskan tugas-tugas kuliahnya mengingat saat ini statusnya bukan lagi mahasiswa awal.
"Bukain! Tolong!"
Merampas botol minum dari tangan Joshepine, Ricky menaikkan sudut bibir, "Hilih! Ngatain gue letoy, sendirinya buka botol minum aja nggak kuat!"
"Licin, Rick! Keringetan, nih, tangan gue! Cobain sono lo maju ke barisan depan, apa nggak keringetan sampe ke ketek-keteknya lo?!" merampas botol minum yang sudah dibuka tutupnya oleh Ricky, meneguk, menyerahkannya lagi pada Ricky, "Nitip! Gue mau ke depan lagi!"
"Yo! Semangat! Pantang pulang sebelum menang, Jo!"
"Bacot!"
"Hahahaha! Kalo ada yang butuh asupan, suruh ke sini, Jo!"
Belum lama dari pamitnya, Joshepine kembali menepi dan memanggil, "Ricky!"
Namun, kali ini ia tak sendiri. Ada seseorang yang digandengnya. Tak bisa Ricky lihat jelas siapa karena matahari pada siang menuju sore itu menyorot tepat pada wajahnya.
Yang nampak oleh Ricky selain warna almet mereka yang berbeda—yang mana berarti kampus mereka juga beda—hanyalah rambut panjang berkuncir kuda itu berayun tatkala pemiliknya berjalan.
Silau. Ricky menyipitkan mata.
Berdiri. Sedikit menggeser posisi agar tidak kena sorot matahari.
Dan, masih silau.
Tapi, bukan.
"Nitip temen gue, Rick! Kepisah dari rombongannya."
Bukan lagi matahari yang membuat Ricky kesilauan, melainkan dia. Seseorang yang Joshepine hadirkan di dekatnya sekarang.
Silau, tapi anehnya, mata Ricky tidak sakit ketika memandanginya lama-lama.
"Nada, lo di sini dulu aja, nih, sama temen gue."
Kalau saja Joshepine tidak menepuk keras lengan Ricky dan berpesan lantang, "Jagain temen gue! Jangan dinakalin! Jangan ditinggalin juga! Awas lo, ya!" mungkin Ricky masih ada di kegiatan yang sama: