bagian 2: datang atau pulang

317 93 29
                                    

Ponsel dinyalakan, fitur peta digital diaktifkan. Tangerang menuju Jakarta, estimasi waktu perjalanan dua jam. 

Ricky menghela napas pelan sebelum mulai menyalakan mesin mobil, membawa kendaraan itu keluar dari parkiran tempat kerja ke jalanan.

Singgah beberapa kali di tepi jalan untuk membeli sejumlah makanan. Memesan sambil mencoba menelpon seseorang. Selalu.

Akan tetapi ....

Calon Istri
panggilan suara keluar tak terjawab (6)

... selalu begitu ujungnya.

Rasa-rasanya, ia ingin memutar balik arah kendaraannya saja, dan pulang. Perseteruan tadi siang, bukan perempuan itu saja yang berujung dibuat kesal, tapi Ricky juga. Perkara menyewa gedung pernikahan, keduanya sama-sama bersitegang.

Namun, apa jadi bilamana mereka selamanya tak hampir-menghampiri, mungkin sebuah pernikahan hanya akan menjelma mimpi-mimpi.

Sebab mustahil untuk kekasihnya menghampiri—jangankan datang, pesannya tadi siang saja tidak mendapat balasan—maka, Ricky berusaha menekan egonya.

Makanan terlanjur dibeli. Jarak tinggal setengahnya lagi. Dan, ia sudah seminggu membendung rindu di hati.

Di sini, ia sekarang. Mengetuk pintu satu unit apartemen sederhana sambil mencoba menghubungi penghuninya.

Pintu terbuka. Perasaan lega kontan merambati dada. Senyum merekah di muka, meski yang diterima bukan sambutan manis melainkan hanya keheningan.

Tanpa bicara, Nada melebarkan celah pintu agar Ricky bisa masuk ke dalam sana.

"Udah makan belum? Makan, yuk! Aku bawa nasi goreng yang biasa kita makan." Beberapa piring diambil.

"Aku udah makan."

Ricky berhenti membuka bungkusan nasi goreng ketika terdengar suara. Terdiam sejenak dengan pandangan kosong, ia kemudian menoleh ke belakang, mengupayakan seutas senyuman, "Ya udah, minum jus, ya. Aku beli jus jambu sama wortel, nih."

Kantong plastik di meja makan kecil didekati. Dua cup jus dikeluarkan. "Mau yang mana?" ditawarkan.

Namun, Nada hanya menatap tanpa minat lalu membuang pandangan dengan jengah.

Ricky mencoba, "Atau mau ayam goreng?" mengeluarkan lagi isi kantong plastik, "Nih, aku beliin ...."

"Kamu ngapain, sih, Rick?!" Namun, respon yang diterima di luar prasangka.

Nada tampak tak suka. "Ngapaian kamu beli makanan sebanyak itu? Aku udah makan, udah kenyang."

"Ya udah, aku yang makan. Kamu kalo nggak mau, nggak usah!" Ricky tarik sebuah kursi, lalu duduk, "Makanya, lain kali kalo ditelpon tuh diangkat! Biar aku tahu kamu udah makan atau belum, tahu kamu maunya gimana, tahu maunya apa!"

Nada hanya diam, melirik sosoknya yang tengah melahap dua porsi nasi goreng.

"Udah dibela-belain, jauh-jauh ke sini. Capek, pulang kerja. Eh, malah gini. Boro-boro ditanyain kerjaan lancar, nggak?, tadi di jalan macet, nggak?, nyasar, enggak? Dua jam, loh, Nad, ke sini! Kamu nggak tahu rasanya!" 

Melenggang menuju kursi kerja di dekat jendela, Nada bicara, "Nggak ada yang nyuruh kamu ke sini! Kalo capek, ya, pulang aja sana! istirahat, nggak usah maksa ke sini!"

Hening.

Ricky berhenti mengunyah dan menelan makanan. Punggung yang tertutup rambut panjang di sudut sana, ditatap lekat. Sendok diletakkan. Ransel disambar. Kursi dan meja makan ditinggalkan.

Gagang pintu diraih, daunnya dibuka. Sejenak ia menoleh lagi ke belakang untuk berkata, "Kalo kamu masih marah gara-gara masalah gedung, aku minta maaf."

"AKU NGGAK MARAH!"

"TERUS APA?!"

Hening.

Hening.

Hening.

Bibirnya bergetar dalam mengatakan, "Aku kasian sama kamu, Rick, harus ngeluarin banyak biaya buat pernikahan kita. Ini lagi, kerja udah capek 'kan? Ngapain coba ke sini," turun bulir-bulir air dari sudut mata, tak lama kemudian.

Gagang pintu didorong. Daunnya kembali tertutup. Ricky jatuhkan ranselnya, lalu berjalan tergesa menuju Nada.

Diputarnya kursi yang Nada duduki. Dalam posisi merendahkan badan dengan membuat sepasang lututnya dan lantai bersentuhan, ia keluarkan warna suara terlembutnya, 

"Nad, dengerin, ya. Rezeki buat nikah sama buat beli rumah atau yang lainnya itu beda. Bisa, kok. Nanti satu-satu. Kita urus yang di depan mata dulu, ya. Masa, sih, mau bawa anak orang, ngasih sekedarnya. Kamu tuh mahal. Kamu berharga, Cantik." 

Akibatnya, sepasang mata Nada yang semula padam kini semakin padam. Terlebih ketika perempuan itu mengambil tangan kanan Ricky yang semula bertengger di lengan kursi. 

Sudut-sudut mata Nada kembali menjadi sumber aliran.

Di telapak tangan laki-laki itu banyak menyimpan goresan. Mekanik tentu bukan pekerjaan yang mudah. Tiap waktu bergelut dengan mesin kendaraan, tangannya sudah pasti kerap kotor dan tergores peralatan kerja.

Ricky tersenyum tipis, seperti paham apa yang dipikirkan Nada, meski kekasihnya hanya diam.

"Kalo kasian sama aku, senyum coba," pintanya yang sukar Nada kabulkan sekarang. 

[]





Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
THE SUNSET IS BEAUTIFUL, ISN'T IT? [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang