21

2.1K 184 6
                                    

Hari berlalu dengan suram, suasana mansion terlihat sendu dengan keadaan bungsu kesayangan semua orang. Baik maid maupun bodyguard mereka ikut merasakan kesedihan Tuan dan Nyonya mereka.

Keadaan Juan belum bisa dikatakan baik, walaupun mendapatkan perawatan intensif sekalipun. Dua orang perawat yang memantau kondisi Juan 24 jam, harus bertarung dengan kondisi Juan yang naik turun.

Baru seminggu mereka merawat Juan, mereka sering kali menjatuhkan air mata merawat pasien kecil itu.

Akhir-akhir ini Juan juga rewel dan berakhir collapse. Membuat mereka harus ekstra sabar menghadapinya.

Seperti saat ini, Juan menutup mulutnya rapat-rapat karena tidak mau makan karena keinginannya punya adik tidak dikabulkan orang tuanya. Mereka sudah berusaha membujuknya dengan berbagai cara.

"Ayo Juan buka mulutnya." Ria menyodorkan sesendok bubur ke mulut Juan. Namun bibir itu dikunci dengan rapat.

Ria beralih pandang ke Citra yang hanya melihatnya dari pintu. Nyonya-nya itu tampak menatap sendu Juan yang tak mau melihatnya.

Begitu juga dengan Fahri, hanya bisa mengusap punggung istrinya itu. Hingga anggukannya membuat Citra kembali mengembunkan matanya.

Tasya melihat Tuan dan Nyonya mendekati brangkar, mencolek Ria untuk pergi dari kamar, membiarkan mereka membujuk buah hati mereka.

Citra tersenyum sendu duduk di tepi brangkar, membelai rambut lepek Juan yang memalingkan muka. Fahri duduk di tepi brangkar sebelahnya, ikut mengusap pipi tirus sang anak.

"Papa tau Adek nggak tidur."

Juan hanya diam, matanya ia pejamkan seakan tidur.

"Adek marah, ya?" tanya Citra lembut.

Juan tetap diam tidak mau menjawab perkataan orang tuanya, ia hanya merasa kesal.

Fahri dan Citra mengangguk berat dalam bersamaan, hingga perkataan mereka membuat mata bulat itu terbuka dengan binarnya.

"Adek ingin jadi Abang kan? Baik lah, Mama dan Papa kabulkan."

Mata Juan yang berotasi lambat bergerak kearah orang tuanya yang tampak berkaca-kaca.

"Ng-ggak bohong kan?"

Citra menggeleng lemah. "Kami nggak bohong.

Fahri beralih mengusap tangan ringkih si bungsu. "Tapi Adek nggak boleh mikir yang aneh-aneh, ya? Dan harus semangat biar cepat sembuh. Katanya mau jadi Abang."

Juan tersenyum ceria di bibir keringnya. "A-adek akan berusaha semampu Adek, kalau Adek udah benar-benar lelah, jangan tahan Adek, ya?" ucapnya dengan napas terangah-engah.

Citra tak bisa lagi menahan air matanya, tetesan bening jatuh membasahi selimut putih sang anak.

Fahri berusaha untuk tegar, walaupun air matanya tetap saja meluncur dengan diam.

"Kami akan berusaha ikhlas jika hari itu tiba."

Bibir Juan semakin mengembang, hingga membuat nasal canula bergeser ke bawah.

Fahri membetulkan letak selang kecil itu, lalu mencium sayang kening si kecil. "Udah, ya. Sekarang waktunya makan."

Citra dengan sigap mengambil semangkuk bubur, namun gelengan Juan pertanda penolakan.

"Ada apa sayang? Katanya mau jadi Abang, harus makan yang banyak biar nggak kalah besar dari adik nanti."

"Kenyang, Ma. P-perut Adek sesak kalau makan."

Batasan Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang