22

2.2K 197 4
                                    

Beberapa minggu berlalu setelah keputusan mengiyakan permintaan Juan. Hari-hari mereka berlalu dengan perasaan bahagia, dan kebahagiaan itu semakin bertambah ketika hasil tes pek Citra menunjukkan garis dua.

Beribu syukur mereka panjatkan ke pada Tuhan, dan menyambutnya dengan suka cita terutama Juan yang begitu sumringah mendengar berita membahagiakan.

Anak itu, saking senangnya tidak mau jauh dari sang Mama. Seperti saat ini, ia tiduran di paha mamanya sembari mengusap perut rata itu.

"Cepat keluar adik."

Ucapan lirih itu tertangkap jelas di telinga Citra dan Fahri. Mereka terkikik geli melihat perhatian sang anak mengusap calon adiknya.

Tama yang duduk di sofa mengulum senyum dibuatnya, begitu juga dengan Bagas dan Cantika. Mereka lebih memilih memperhatikan dari jauh, agar tidak mengganggu kesenangan si kecil.

Walaupun demikian di lain sisi mereka berat menggeser gelar bungsu pada Juan. Mengingat kondisi anak itu membutuhkan perhatian ekstra. Tapi hanya itu kebahagiaan Juan yang terpaksa mereka kabulkan.

Beberapa bulan berlalu, tak terasa usia kandungan Citra menginjak 8 bulan. Perutnya semakin menonjol dengan perubahan mental juga ikut memperngaruhi, akibat sering stress setiap kali Juan collapse.

Tak jarang ia mengalami pendarahan, beruntung kandungannya masih bertahan walaupun lemah.

Fahri sebagai kepala keluarga berusaha untuk kuat di tengah badai menyelimuti keluarganya.

Malam ini hanya Fahri yang menemani Juan. Anak itu duduk bersandar di dada bidangnya. Dada itu bergerak lambat bersama tarikan napas berat walaupun sudah dipasangkan masker oksigen.

Fahri dengan sabar mengusap dada dan perut nan buncit itu. Menenangkan Juan yang gelisah dalam pejamnya.

Hatinya teriris mendengar rintihan kesakitan si kecil, bukan hal biasa lagi baginya, tapi ia ikut merasa sakit.

"Pa hah ... kalau aku tidak bisa membuka mata lagi, jangan paksa aku bertahan, ya?"

Mata Fahri mengembun, hatinya selalu ditusuk ribuan pisau mendengar perkataan ngelantur anaknya.

Malam itu dihabiskan dengan kesesakan, hingga tanpa Fahri sadari ketika matanya tertutup, Juan berada puncak kesakitannya. Dadanya serasa dihimpit batu, sangat sesak seakan udara menjauhinya, ditambah dengan perutnya serasa ditusuk-tusuk. Ia bergerak gelisah, namun sang Papa benar-benar lelah menjaganya.

"Enggggg ... engggg ha ha ha."

Mata Juan melotot saking tersiksa nya, setiap kali sakit menghujaminya. Hingga pada batas kesadaran, Juan berharap sakit itu cukup sampai disini, dan matanya hanya menatap kosong dengan napas tercekat.

...

Dini hari, Tasya dan Ria masuk ke kamar Juan, untuk melakukan pengecekan.

Mereka mendekati brangkar, dan melihat Juan masih membuka matanya, sementara Tuan Fahri tertidur dalam posisi duduk menahan tubuh pasien mereka.

"Juan terjaga, ya?" tanya Ria, namun Juan tidak meresponnya, dan hanya memandang kosong.

Ria tersenyum melihatnya, ia pikir Juan termenung, dan melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut, mengganti infus yang hampir habis. Sementara Tasya mengecek popok Juan dengan merabanya. Namun ada yang aneh, biasanya setiap kali mereka memeriksa popoknya, Juan akan selalu melenguh sebagai tanda tidak nyaman, tapi anak itu hanya diam saja.

Ketika ketika Ria dan Tasya memandang satu sama lain, mereka baru menyadari, dada Juan tidak bergerak, dan tidak ada tanda-tanda menarik napas.

Mereka membuka cepat ikatan baju kimono Juan untuk memastikan lebih lanjut.

Akibat pergerakan kasar kedua perawat itu, Fahri bangun dari tidurnya, dan linglung melihat wajah panik perawat anaknya.

"Tuan, tolong turun, Juan membutuhkan pertolongan!" seru Tasya.

Kesadaran Fahri langsung ditarik, dan menyadari anaknya tidak merespon sekitarnya.

Ia turun dari brangkar, membiarkan dua perawat itu memberikan penanganan.

Ria melakukan CPR, menekan dada bertulang itu, sementara Tasya memompa ambu bag. Mereka berusaha mengembalikan detak jantung yang hilang, memastikan nasi terasa, sekuat tenaga membawa Juan kembali kepada mereka.

Citra yang tadinya tak tenang tidur, niat hati ingin menemani anak bungsunya, ia terkejut ketika kakinya menginjakkan ke dalam, Juan berbaring sedang diberi CPR. Mata itu hanya kosong, hingga tidak ada binar di dalamnya.

Seketika tangisnya pecah, dengan langkah terhuyung. Beruntung Fahri dengan cepat menangkapnya.

Tangisan Citra membangunkan yang lain, mereka sama-sama syok pemandangan menyakitkan itu.

"Kita harus membawa Juan ke rumah sakit!" teriakan perawat menjadi alarm kondisi Juan sangat mengkhawatirkan.

...

Brangkar di dorong cepat di lorong panjang, Ria tanpa kenal lelah terus melakukan CPR, dan Tasya terus memompa ambu bag.

Tangis keluarga mengiringi perjalanan, Citra yang didorong Cantika menggunakan kursi roda menangis tersedu-sedu.

Fahri dan Tama sama-sama memegang kedua sisi kanan dan kiri si bungsu, dapat mereka rasakan tubuh ringkih itu mendingin dengan tubuh semakin pucat.

Hingga mereka hanya bisa mengantarnya di luar ruangan UGD. 

Reza yang sudah menunggu langsung melakukan pemeriksaan lebih lanjut.  Ia langsung membuka lebar-lebar mulut yang mulai membiru, dan memasukkan selang ventilator.

Para perawat sibuk menempelkan eletroda ke dada dan perut Juan. Grafik monitor menunjukan tanda vital yang sangat lemah. Memberikan suntik penguat jantung, dan menaikkan liter oksigen yang tinggi.

Anak itu hanya diam selama penanganan menyakitkan itu berlangsung, hanya tatapan kosong, dan wajah semakin memucat. Lehernya menonjolkan urat-urat saking beratnya ia bernapas, membuat siapa saja yang melihatnya tidak tega.

Entah berapa kali injeksi diberikan, namun yang pasti anak itu sangat kesakitan menahannya dari semalam.

"Siapkan ruang CT-scan dan MRI!"

Perawat bergerak cepat melaksanakan perintah Dokter Reza, dan menyiapkan Juan sebelum ke ruangan pemeriksaan lebih lanjut.

...

Setelah CT-scan dan MRI, Juan langsung dipindahkan ke ruangan ICU. Berbagai peralatan medis dipakaikan ke tubuh ringkih itu.

Dari atas sampai bawah, tubuh pucat itu dililiti alat medis menyakitkan. Tubuh itu dibiarkan terbuka di tengah ruangan nan dingin.

Reza menghela napas lelah, hatinya tak tenang sebelum hasil pemeriksaan tadi selesai.

Beberapa jam menunggu, hasil MRI dan CT-scan sudah berada di tangannya. Ia mengumpulkan semua anggota keluarganya yang tampak gusar.

"Liver Juan sudah rusak parah, ditambah jantungnya mengalami penurunan signifikan, dan paru-parunya hampir kehilangan fungsiny, ini antara mati dan hidup. Semuanya tergantung pada Juan, sekarang."

Tangis keluarga tak bisa terbendungi lagi. Mereka serasa dihempaskan dari kenyataan yang ada.

"Mungkin ini perkataan yang kejam, dan saya tidak mau memberikan harapan palsu, Juan akan bertahan lama. Tolong ... sisakan ruang ikhlas jika Juan memilih menyerah."

Reza begitu berat menyampaikannya, berusaha untuk tidak menangis. Iya memutuskan menyerah untuk menangani kondisi keponakannya itu, karena iya tahu Juan sudah diambang kesakitannya.

Semuanya hanya bisa menangis, tak sanggup mengiyakan perkataan Reza.


TBC

Tinggal dua bab lagi 😙









Batasan Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang