4.

4.3K 264 5
                                    

Banyak rencana tak sesuai kenyataan, banyak keinginan tak sesuai harapan, seakan saling bertentangan, memilih paling benar dari ketetapan Tuhan.
Semuanya saling berlomba menyentuh garis ketetapan Tuhan, keinginan hanya hanyalan, doa hanyalah gambaran harapan, dan pada akhirnya keputusan Tuhan memberikan iba pada untaian doa.

Tak ada yang pasti, selama keputusan belum ditentukan, tetap akan menjadi misteri bagi Sang Ilahi.

Reza hanya bisa berdoa, bahwa usahanya membuat kondisi Juan lepas masa kritisnya diijabah oleh Tuhan. Dua hari berlalu, tetapi kondisi Juan belum ada peningkatan, berbagai cara ia lakukan agar keponakannya itu sadar.

Sekarang Reza bersama beberapa suster mengelilingi brangkar, mereka sibuk menjalankan apa yang diperintahkannya.

Reza memeriksa pupil mata Juan, lalu menempelkan tangannya ke leher  memeriksa denyut nadi, menghela napas masih dalam kondisi yang sama.

Reza beralih menempelkan stetoskop ke dada Juan, tarikan napasnya masih di bawah normal. Lalu turun ke bawah meraba perut yang  tegang itu, meminta suster membuka perekat popok, membiarkan Juan tidak tertutupi sehelai benang pun.

Reza menekan kuat perut Juan, memfokuskan arah pandang ke bagian dubur Juan. Sekali lagi ia menggelengkan kepalanya, melihat volume cairan feses Juan semakin meningkat bila ditekan, ditambah darah ikut merembes dari bawah.

Beberapa kali Reza tekan kuat, melihat seberapa banyak cairan feses itu keluar. Tidak hanya itu saja fokus Reza, sari makanan yang baru mereka masukkan ke dalam selang NGT satu jam yang lalu ikut keluar, kerusakan metabolisme sangat parah, hingga tidak bisa menggiling sari makanan.

“Tutup kembali popoknya,” titah Reza.
Suster melaksanakan perintah Reza, merekatkan kembali popok Juan, tidak seutuhnya karena selang katater menjuntai ke bawah.

Reza memeriksa selang katater, mengarahkan pandangan ke urine bag yang menampung cairan keruh. Urine Juan bercampur darah, menandakan penyakit sialan itu menggerogoti tubuh rapuh keponakannya.

“Apakah urine pasien terus meningkat?” tanya Reza memperhatikan urine bag hampir penuh.

Salah satu suster yang berjaga menggangguk. “Iya, Dok. Sudah beberapa kali kami membuang urine pasien, meningkat dari hari kemarin.”

Reza mengusap kasar wajahnya, terlampau sesak membayangkan penyakit itu menyakiti keponakannya.

Beralih mengecek tranfusi darah yang terus diberikan selama Juan tidak sadarkan diri. Hal ini dilakukan karena tekanan darah terus mengalami penurunan. Sementara suster mencatat tanda vital pasien, dan suster lainnya membuang urine pasien.

Reza menatap sendu Juan, menelisik setiap jengkal wajah Juan yang tak ada rona, sangat pucat bagai tak ada aliran darah. Mulut kecil Juan terus terbuka lebar, dijejal selang ventilator, bibir yang lucu itu kering dan pecah-pecah bila diperhatikan, selang NGT turut menghiasi wajah lelah sang keponakan.

 Mulut kecil Juan terus terbuka lebar, dijejal selang ventilator, bibir yang lucu itu kering dan pecah-pecah bila diperhatikan, selang NGT turut menghiasi wajah lelah sang keponakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tubuh itu sesekali tersentak dan diam beberapa saat, sungguh Reza tidak terbayang bagaimana sakitnya.

“Juan hebat bisa bertahan selama ini, jangan menyerah, ya, sayang? Banyak disini nunggu Juan.”

Tak sengaja Reza menangkap air mata keluar dari pejamnya Juan, menghapusnya lembut, mencium sayang kedua mata yang terpejam era, seakan menjawab ucapan Reza.

Suster yang berada di sana ikut merasa kesedihan, mereka tahu pasiennya ini bukanlah pasien biasa, melainkan anak pemilik rumah sakit ini dan juga keponakannya Dokter Reza.

Reza menghapus air matanya, menatap tegas para suster di dekatnya. “Siapkan alat, kita akan melakukan USG  Abdomen."

Suster dengan sigap melaksanakan perintah Reza, menyiapkan alat, dan memberikan gel khusus kepada Reza, lalu Reza membaluri rata ke dada dan perut Juan.

Suster lain memasukkan selang hitam yang terbilang besar ke dalam mulut Juan, memasukkannya perlahan sampai pada titik yang ditentukan.

Setelah itu, suster memberikan transducer kepada Reza. Reza menempelkan alat seperti mic itu ke dada Juan, terekam jantung Juan, bergerak ke bawah perlahan menyusuri perut Juan yang semakin tegang ditekan alat tersebut, terekam jelas organ yang tertangkap menunjukkan tidak normal, membuat sepanjang pemeriksaan terdengar helaan napas Reza dan juga keterkejutan suster.

 Reza menempelkan alat seperti mic itu ke dada Juan, terekam jantung Juan, bergerak ke bawah perlahan menyusuri perut Juan yang semakin tegang ditekan alat tersebut, terekam jelas organ yang tertangkap menunjukkan tidak normal, membuat sepanjang p...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suster yang memantau layar terus mencatat hasil USG yang ditampilkan monitor, mereka bekerja semaksiamal mungkin dalam menangani pasien, apalagi pasien mereka sekarang adalah pasien istimewah.

Sementara di luar ruangan, Fahri, Citra, Bagas, dan Cantika terus merapalkan doa, berharap Reza keluar dengan kabar baik.

Di balik usaha dan doa mempertahankan Juan, seseorang tersenyum puas mengetahui kondisi Juan yang sedang sekarat.

Ditatapnya CCTV ruang ICU yang ia retas, tertawa mengerikan menyaksikan tubuh itu rusak, tinggal sedikit permainan tubuh itu benar-benar kehilangan nyawanya.

“Tuan, kita bisa bergerak besok siang.”

Tawa menggelegar pecah, menatap senang bodyguard-nya. “Bagus, saya tidak sabar lagi bermain-main dengan anak sialan itu.”

Bodyguard sedikit tidak setuju dengan rencana tuannya, walaupun ia membunuh musuhnya tanpa ampun, ia masih punya hati untuk tidak menyakiti anak kecil.

“Tuan, dia sedang sakit parah. Walaupun Tuan tidak menyakitinya, sudah dipastikan anak itu akan mati dengan sendirinya.”

Bodyguard menunduk melihat tatapan tajam mengarah kepadanya, seketika hawa dalam ruangan mencekam.

BUGH

Pukulan kuat pria tua yang menjadi tuannya, melayang cepat ke mukanya. “Kau kasihan padanya?” pertanyaan dingin meremangkan bulu kuduk bodyguard.

Bodyguard itu menggeleng kaku, walaupun hatinya tidak sejalan dengan pikirannya. “Saya hanya berpikir anak itu akan mati perlahan tanpa harus mengotori tangan Tuan.”

“Saya tidak puas anak itu mati dengan sendirinya, gara-gara dia hidupku hancur karena kehadirannya, sekarang saatnya membalaskan dendam.”

Bodyguard hanya bisa pasrah dengan keinginan Tuan Besarnya, ia hanya berharap Tuan Besarnya tidak menyesali perbuatannya nanti.




TBC

Batasan Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang