2.

6K 338 1
                                    

Nyaringnya EGK melingkupi ruangan nan dingin, menemani lelapnya malaikat kecil yang sedang berjuang bersama alat-alat medis mengerikan.

Doa dan rapan terus menggema dibalik ruang kaca tembus pandang, memandang sendu tubuh yang  berjuang melawan sakitnya.

Di dalam sana, kesayangan keluarga sedang mempertaruhkan nyawanya, hidup dan mati menjadi pilihan Tuhan, mengiba-iba dalam untaian doa, sosok malaikat kecil yang disia-siakan  berharap kembali kepada mereka.

Reza yang berada di dalam sedang mengecek keadaan keponakannya, bersama beberapa suster yang bertugas di dalam. Salah satu suster menutup tirai ruangan agar keluarga pasien tidak semakin sakit melihat tubuh rapuh itu dibolak-balik.

Reza mengarahkan stetoskop ke dada yang bergerak lambat. “Tambahkan liter oksigen,” titahnya kepada suster yang memantau vital pasien.

Beralih membuka salah satu mata yang hanya pandangan kosong, menyenterkan ke pupil matanya.

Lalu Reza turun ke perut yang tampak lebih mengembung dari sebelumnya dan tegang. Setelah selesai, Reza menepuk perut yang tampak buncit itu, sesekali menekannya.

Bung

Bung

Bung

Reza menggeleng ada yang tidak beres dengan perut Juan, jika prediksinya benar maka menjadi hantaman keras bagi keluarganya.

“Apakah hasil tes darah belum keluar?”

“Paling cepat nanti malam, Dok.”

Reza mengangguk, hatinya begitu resah menunggu hasil tes darah keponakannya. Reza kembali memeriksa bagian tubuh bawah sang Ponakan.

Tubuh mungil keponakannya begitu kurus dan terlihat pendek untuk anak seusianya. Banyak lebam menghiasi tubuh rapuh itu, terekpos jelas karena tak dipakaikan pakaian, hanya popok menutupi area kemaluannya, bertujuan merangsang kesadaran pasien dan memudahkan dalam penanganan.

Reza beralih memegang popok Juan, merabanya, lalu membuka perekatnya yang tidak terlalu direkatkan karena selang katater menjuntai.

Sungguh miris melihat cairan feses kekuningan dan bercampur darah terus keluar dengan volume lambat.

“Diarenya belum juga berhenti?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan.

“Belum Dok, kami sudah beberapa kali mengganti popok karena cairan feses terus keluar, baru setengah jam yang lalu kami menggantinya,” jawab suster di sebelahnya.

“Waktu kami menekan perut pasien, volume cairan fesesnya meningkat, Dok,” timpal suster yang memantau kondisi vital pasien.

Reza memandang sendu keponakannya. “Ambil sampel fesesnya.”

Suster yang berada  di sebelah bagian tubuh bawah Juan mengambil sampel feses sesuai perintah Reza, untuk diteliti penyebab cairan feses itu tidak mau berhenti.

Fokus Reza teralihkan melihat selang katater yang tampak bercak darah dan tampak kantong urine bag keruh.

“Catat.” Suster yang mengerti arah pandang Reza mencatat kondisi rapuh Juan.

“Bantu saya memiringkan pasien,” ucap Reza.

Dua suster memegang kaki dan pinggang Juan, sementara Reza memegang bagian tubuh atasnya. Sementara perawat lainnya menyesuaikan pergerakan alat medis dengan tubuh Juan dimiringkan agar peredaan darah tidak menumpuk satu titik.

Terpampang jelas banyak ruam di punggung Juan, membuat mereka yang menyaksikan mencolos. Anak sekecil itu harus merasakan sakit tak pernah mereka bayangkan. Entah seberapa parah penyakitnya, yang pasti mereka terlambat menanganinya, bahkan sudah masuk tahap komplikasi.

Reza hanya tinggal menunggu tes itu keluar, maka kehancuran terpampang jelas dipelupuk matanya.

Reza mengambil salep yang disediakan, mengoleskan tubuh yang terdapat ruam disana. Tangannya bergetar menyapu kulit dingin Sang ponakan. Tak pernah ia sangka dihadapkan pasiennya sekarang adalah keponakannya sendiri.

Dapat Reza saksikan bagaimana tersiksanya Juan dalam pejamnya, tubuh ringkih itu sesekali tersentak dan terdiam beberapa saat. Belum lagi napas yang lambat walaupun sudah dijejali  ventilator ke dalam paru-parunya. 

Setelah pemeriksaan yang panjang, keluarga Juan belum bisa menjenguknya disebabkan kondisi Juan yang belum stabil. Sampai di malam hari mereka masih menunggu di luar, dan ketika Reza datang meminta mereka keruangannya, mereka dilanda kecemasan mendengarkan kondisi Juan.

Ada jeda panjang menegangkan suasana, menarik napas kasar menatap beberapa hasil tes di pegangan Reza, menetralisir sesak di dadanya. Apa yang ia takutkan jauh lebih menakutkan.

“Buruk,” satu kata pembuka kehancuran mereka.

“Apa maksudmu, Za?” tanya Fahri menapat intens adik iparnya.

Cantika memegang mamanya. Memeluknya menyalurkan kekuatan walaupun ia juga sama terpuruk. Tak beda jauh dengan Bagas, meremat kedua tangannya, menguatkan hati mendengarkan kehancuran hidupnya.

Reza menatap datar keluarga kecil kakaknya. “Gaucher Diseasa tipe 2 …  penyakit genetic yang ditandai dengan penumpukan lemak sel atau organ-organ tertentu. Penyakit itu sudah mulai menyerang organ tubuh Juan … hatinya mulai mengalami pembengkakan, itulah yang menyebabkan perut Juan kembung dan mulai mengalami pembengkatan."

Mereka tersentak mendengar penjelasan Reza, penyakit itu sama dengan penyakit ayah mertua Citra--papanya Fahri yang meninggal waktu Juan masih dalam kandungan.

Sekarang, anak mereka merasakan sakit yang sama, membuat mereka teringat  betapa tersiksanya kakeknya Juan melawan penyakit langkah itu.

Reza semakin tak kuasa menyebutkan hasil tes selanjutnya. “Dan itu juga mempengaruhi metabolisme pencernaan Juan, dengan berat hati … metabolisme Juan tidak berfungsi dengan baik. Makanan yang masuk tidak dapat dicerna dengan baik, terjadi pendarahan akibat sistem pencernaan yang rusak. Juan tidak akan bisa menahan fesesnya, akan keluar sendiri dengan makanan yang tidak dicerna dengan baik.”

“Kenapa bisa separah itu, Za?!” Citra meraung menggoncang Reza, tidak terima penjelasan adiknya.

“kita terlambat menyadarinya!  Penyakit sialan itu … penyakit itu sudah menunjukkan gejala sedari dulu. Kalian lihat pertumbuhan Juan? Lambatkan?! Juan sudah berumur 15 tahun tapi dia masih terlihat anak yang berumur 10 tahun, dia sering sakit-sakitan dan kalian malah mengabaikannya, bahkan aku sebagai Dokter tidak terlalu memikirkannya, dan menganganggab itu hanya karena imunnya yang lemah. Penyakit itu begitu menyakiti Juan kita, komplikasi tidak hanya hati dan pencernaannya, jantung dan paru-parunya juga mulai melemah. Yang bisa kita lakukan mencegah penyakit itu semakin menyakiti Juan kita. Segala cara pasti akan aku lakukan agar Juan tetap bertahan.”

Tangis keluarga pecah begitu saja bersama sekaratnya keadaaan kesayangan mereka. Mereka diambang jurang, memegang nyawa yang mereka pegang erat, berusaha mengembalikan raga terlampau lelah.  


TBC

 

Batasan Luka [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang