Keping 4 : Ibu Tanpa Surga

48 7 2
                                    

-selamat membaca

-semoga menikmati-

-24/7-

.

.

"Beri saya menu yang sama dengan yang disebutkan bos saya tadi, satu croissant mix butter dan segelas latte macchiato." Prabu tersenyum lebar, mengulangi pesanan yang Lingka ucapkan sambil menatap sang pegawai penuh respek.

Perempuan itu menulis pesanan yang datang padanya dengan sangat hati-hati. Entah mengapa sedikit menahan kekesalan saat pemuda yang ia tolong tak ingat dengannya. "Pesanannya diulangi lagi ya Bapak-Bapak, 2 croissant mix butter dan 2 latte macchiato. Silakan tunggu sebentar. Terima kasih telah berkunjung ke kafe kam—"

"Ranum! Apa pengunjung meja 13 sudah selesai dengan pesanan mereka? Biarkan aku membantumu jika kau kerepotan." Suara nyaring seorang perempuan menyapa karyawati berjilbab yang sedang melayani meja Lingka dan Prabu dari arah berseberangan. Berjalan menghampiri dengan langkah pasti.

Tentu saja karena namanya diteriaki, si gadis yang belum utuh menjauh dari meja Prabu dan Lingka itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah sumber suara, lalu mencibir samar pada teman yang meneriakinya karena tahu maksud sang teman apa.

"Ranum?!"

"Kami sudah selesai Uul, kau tak perlu membantuku." Ranum, perempuan berjilbab yang mencatat pesanan Lingka dan Prabu meninggalkan meja dua pemuda itu. Berjalan cepat sambil menyambar tangan temannya. "Jangan menggoda pengunjung, apa kau lupa pesan Mas Dewan ha? Profesional Uul, profesional!"

"Aku hanya mencoba peruntungan. Kau jangan kesal begitulah. Siapa tahu satu dari mereka adalah jodoh yang Penguasa Semesta bungkuskan untukku. Lihatlah mereka Ranum! Lihat! Kita jarang kedatangan matahari dan bulan disaat sepi seperti ini. Kenapa tak memanfaatkannya dengan maksimal ha? Sambil menyelam minum teh melati gitu, kurasa kau paham dengan pribahasa itu, ya 'kan?"

"Uul!"

"Dua-duanya juga boleh. Aku nggak keberatan kok."

"Ya Immatul!"

"Bukankah jodoh harus dijemput, Ranum? Bahkan jika tak mempan dijemput, kita dipersilakan untuk merebut. Apa kau tak tahu pasal-pasal perjodohan yang terbaru ha?"

Ranum mengencangkan cengkramannya pada lengan Immatul. Menjadi-jadi kesal karena mulut bebas hambatan sang teman.

Namun didetik berikutnya, saat Ranum dan Immatul hampir meninggalkan deretan meja pengunjung seutuhnya, suara bariton khas pria dewasa dari sudut ruangan memanggil nama salah seorang dari mereka. Terdengar lantang tanpa keraguan, "permisi Ranum..."

Sontag saja Ranum dan Immatul memutar tubuh ke arah sumber suara dengan serentak usai sapaan itu mengawang di udara.

"Ya Tuhan, si matahari memanggilmu." Bisik Immatul penuh canda saat tahu yang memanggil Ranum adalah Lingka yang sedang berstatus sebagai pengunjung di meja 13.

"Mbak Ranum, bisa ke sini sebentar?" suara kembali terdengar, namun kali ini bukan Lingka yang berucap, melainkan Prabu. Pria tegap itu mengode Ranum penuh sopan santun.

"Apa-apaan kau ini Ranum, si bulan juga memanggilmu." Immatul berjingkrak, lalu mendorong Ranum dengan keras tanpa kira-kira, "pergi sana, layani pengunjungmu dengan profesional. Kalau kau kerepotan, jangan ragu untuk meminta bantuanku. Aku menunggu kodemu dari sini. Dan jangan lupa, tanya nama mereka sebagai bentuk keakraban."

Ranum kikuk. Menatap Immatul dengan ekspresi tak jelas. Lalu menggerakkan bibirnya tanpa mengeluarkan suara, melotot tajam, "kenapa kau meneriaki namaku dengan keras, Uul?!"

Kita Yang Tak Boleh MenyerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang