-selamat membaca
-semoga menikmati-
-24/7-
.
.
Terjebak dalam keadaan paling tak diingininya, dikondisi tubuh yang tidak pula mau diajak bekerja sama, sungguh Lingka tak tahu harus berbuat apa.
Ia ada di toilet perempuan sekarang. Sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja dengan napas tersengal yang masih susah payah ia atur.
"Hei! Kau kenapa? Apa kau baik-baik saja?"
Lingka dapat mendengar dengan jelas suara perempuan berapron coklat susu itu. Sayangnya meski dengar pertanyaan sang perempuan, Lingka sama sekali tak mau mengeluarkan suaranya untuk memberikan jawaban.
Lelaki kurus yang kini dibalut setelan jas rapi itu hanya mengangguk samar, menyiarkan sinyal agar si perempuan meninggalkannya saja. Tak perlu ikut mengurus urusannya apalagi khawatir melihat keadaanya. Itu canggung untuknya. Dan itu mengganggunya.
Meski bagi Lingka ini adalah pertama kalinya ia berjumapa dengan orang asing yang terlihat peduli dengan keadaannya, tetap saja itu tak membuatnya merasa nyaman. Ia tak ingin dikasihani. Apalagi oleh orang yang tak dikenalnya.
Namun lain yang Lingka maksudkan, lain pula dengan yang sang perempuan berapron coklat susu itu terjemahkan.
Melihat Lingka susah payah berusaha menahan keseimbangan dengan memegangi tepian wastafel, si perempuan sedikit mencondongkan tubuhnya sambil mengulurkan tangan, ingin membantu namun sedetik kemudian menahan gerakannya karena Lingka telah lebih dulu melarangnya. "Aku bi-sa urus urusanku."
"Tapi kau tidak terlihat baik-baik saja. Jika kau ingin keluar dari toilet ini, maka biarkan aku membantumu." Si perempuan menatap Lingka dengan tatapan kasihan. Maju mundur bingung tak jelas.
"Kalau kau merasa keberatan aku memegangmu secara langsung, kau bisa bertempu pada—" si perempuan berapron coklat susu itu menahan kalimatnya sejenak sambil mengitari seluruh pandangannya menyapu ruang kamar mandi, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai media untuk membantu Lingka. "—kau bisa bertumpu pada tangkai pel itu! Aku akan mengambilnya dan mari kita berjalan bersisian."
Lingka berkeringat dingin, mengangkat wajahnya demi bisa melihat wajah perempuan yang menurutnya sangat berisik itu.
"Kau tak terlihat baik-baik saja. Biarkan aku membantumu berpindah toilet sebelum ada yang masuk ke sini." Si perempuan mendekatkan jaraknya pada Lingka dengan sangat hati-hati, "aku tak ingin dicurigai sebagai tersangka jika kau mati di sini. Jangan salah paham atas niat baikku. Aku tak punya motif tersembunyi untuk mendekatimu."
Lingka berdecak kecil. Sepanjang tadi si perempuan berjilbab itu mengoceh padanya, baru satu kalimat itu yang membuat Lingka tak bisa menahan kekehannya. Padahal pemuda itu masih dalam fase mencoba mengatur laju napasnya kini.
"Apa kau setuju dengan ideku?" Si perempuan bertanya takut-takut berani. Matanya awas mengamati Lingka dan pintu masuk secara bergantian.
Untuk setengah menit lamanya, tanya si perempuan tak berbalas.
Lingka justru semakin erat memegangi tepian wastafel. Mencoba menguatkan pijakannya.
"A-pa kau oke?" si perempuan kembali bertanya, kali ini sambil menangkupkan tangan kanannya ke dekat bibir.
"Aku akan tenang dengan sendirinya." Lingka akhirnya menimpali pertanyaan yang datang padanya setelah merasa kalau napasnya tak terlalu memburu. "Jika urusanmu telah selesai, kau tak perlu tetap berdiri di situ. Keluar sajalah dan jangan khawatirkan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Boleh Menyerah
General Fiction[CERITA KE 5] Lingka, pemuda yang hidup di bawah kekangan keras ayahnya memilih untuk tak meninggalkan rumah demi sang bunda. Dan ia terlambat menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya. "Jika kematian adalah jawaban, maka aku akan memilih itu se...