-selamat membaca-
-semoga menikmati-
-24/7-
.
.
Kadang kala untuk tetap bisa bertahan, yang dilakukan bukanlah melawan keadaan, melainkan menekan jauh-jauh keegoisan. Dan bagian itu menjadi resep andalan Lingka dalam menjalani peran sebagai putra tunggal ayahnya. Sudah seperti itu bahkan dari seperempat abad yang lalu.
Sialnya, baik Lingka atau siapapun yang memang menggunakan resep tersebut dalam menjalani kehidupan mereka, mereka tidak akan pernah benar-benar tahu kapan tekanan itu akan meledak dan balik menyerang.
Sebab tak akan ada botol yang tetap muat-muat saja dan selalu sanggup menerima semua yang dimasukkan ke dalamnya. Tiap-tiap botol punya kapasitasnya masing-masing, persis seperti manusia. Dan memaksanya terisi penuh hanya akan mempercepat kerusakan.
"Buka pintumu, Lingka!" Suara Langgam keras memecah keheningan rumah besar miliknya. Baru sampai di rumah langsung mendatangi kamar putranya. Mengetuk kasar. "Jangan buat kesabaranku habis!"
Tak ada respon dari si pemilik kamar. Langgam masih mendapati bahwa pintu kamar putranya tertutup rapat. "Jangan pura-pura mati di dalam sana! Buka pintumu Lingka!"
Hening masih menyapa Langgam meski ia telah sekuat tenaga berteriak memaksa putranya membukakan pintu untuknya.
"Kalau kau tetap pura-pura tak mendengar, maka saat aku panggil Jiha untuk membawakan kunci cadangan, jangan menyesali diammu!" Ada getar tertahan di ujung kalimat Langgam. Pria paruh baya dengan rambut yang masih hitam alami itu nampaknya memang tak sedang main-main dengan ucapannya.
Bukan lagi mengetuk, Langgam justru seolah tengah menghancurkan daun pintu yang ada di hadapannya. Kesetanan memukul. "Buka pintumu, Lingka! Jangan pancing kemarahanku lebih jauh dari ini jika kau—"
Pintu kamar terbuka. Tanpa suara dan kalimat balasan, dengan setelan jas yang masih utuh dari atas hingga bawah, Lingka menatap lesu ke arah ayahnya. Diam seribu bahasa.
Melihat wajah putranya tepat berhadapan dengannya, Langgam semakin terpancing amarah. Tanpa aba-aba lelaki tua itu langsung menyapa kasar pipi kiri sang putra. Menamparnya sekuat tenaga.
Lingka terhuyung mundur. Sensasi panas pada pipinya menyisakan denging di telinga. Untung tak membuat sudut bibir kirinya pecah.
"Apa gunanya aku mengingatkanmu untuk tak membuat ulah jika disaat yang dibutuhkan kau malah berbuat sesukamu?" Langgam masuk ke kamar putranya. Tak merasa kasihan dengan sang putra yang memegangi pipi bekas tamparannya. "Apa kau sengaja mencuri perhatian, Lingka? Mengulur waktu di kamar mandi dan berlama-lama di sana seolah kau tak ada agenda penting, atensi apa yang kau harapkan dari orang-orang saat kau terlambat masuk ke ruangan ha?"
Lingka menundukkan wajahnya dalam, rapat mengaitkan bibirnya. Tinggi tubuhnya yang melebihi tinggi tubuh sang ayah sepertinya tak membuat Langgam merasa bahwa dirinya bukan anak kecil lagi.
"Kau sengaja ingin mempermalukanku, Lingka? Apa kau sengaja mengatur ini agar orang-orang menilai bahwa aku adalah ayah yang tidak pernah mengajarkanmu tentang kedisiplinan, iya?" Nada bicara Langgam semakin menjadi-jadi tak terkendali. Keras dan tajam. "Kenapa kau diam saja? Kemana perginya lidahmu ha?"
Dengan sisa keberanian yang ada, Lingka mengangkat wajahnya, menatap Langgam sambil menahan ribuan ledakan dalam dadanya. "Apa semua pertanyaan Daddy harus aku jawab? Dan jika aku jawab, apakah itu akan mengubah keadaan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Yang Tak Boleh Menyerah
General Fiction[CERITA KE 5] Lingka, pemuda yang hidup di bawah kekangan keras ayahnya memilih untuk tak meninggalkan rumah demi sang bunda. Dan ia terlambat menyadari bahwa ada yang salah dengan dirinya. "Jika kematian adalah jawaban, maka aku akan memilih itu se...