Keping 5 : Meminjam Matahari

31 3 0
                                    

-selamat membaca

-semoga menikmati-

-24/7-

.

.

"Bagaimana mungkin kamu balik bekerja dengan celana yang terlihat kacau seperti itu? Di mobil ada setelan jas yang masih baru. Sengaja saya beli untuk jaga-jaga saat perjalanan keluar kota minggu lalu." Prabu menawarkan kebaikan dengan niat tulus. Tak enak hati menatap setelan yang Lingka pakai. Jauh dari kata baik-baik saja.

"Pakaianmu akan jadi pakaian kebesaaran untukku." Lingka menimpali datar. Tangannya masih sibuk mengibaskan celananya yang basah total dibagian paha.

Senyum Prabu sedikit mengambang. Merasa senang disaat yang tak tepat. Ia pikir Lingka memujinya atas kebaikan yang ia tawarkan. "Jangan seperti itu, saya baru menawarkanmu setelan jas saja pujianmu sudah melangit, apalagi jika saya menawarkan yang lainnya. Pakaian kebesaran? Kamu berlebihan, Pak Lingka."

Mata Lingka tajam menatap ke arah Prabu, mencium kesalahpahaman dengan aroma pekat, "lihat ukuran tubuhku, Prabu! Apa aku salah mengatakan kalau pakaianmu pasti kebesaran untukku?"

Prabu terbatuk. Malu mendadak. Lingka sama sekali tidak sedang memujinya. Pemuda minus ekspresi itu justru tengah berterus terang menyampaikan fakta yang sebenarnya. Ukuran tubuh mereka berbeda, jadi mustahil mereka bisa barteran baju.

Lagian jikapun ukuran tubuh mereka sama, Prabu mana tahu kalau Lingka tentu tak akan bisa dengan mudahnya menerima tawarannya. Tukaran baju adalah hal intim yang hanya bisa dilakukan oleh saudara sedarah, teman akrab atau orang-orang dengan interaksi lekat lainnya.

Sementara Lingka tak pernah merasakan semua itu sedari kecil. Jangan tanya sahabat yang ia punya. Jelas tak ada. Dan sialnya, ia juga anak tunggal yang selalu berkeliaran di rumah sendirian, tak beradik juga tak berkakak. Hanya ditemani Jiha sesekali jika ia merasa bosan tak ada siapa-siapa di dekatnya. Sisanya, waktunya dipush untuk belajar agar tetap jadi juara kelas. Bermain-main dengan teman sebaya hanya membuang-buang kesempatan, jika nilainya turun, Langgam jelas tak akan berlemah-lembut padanya.

"Tak masalah, kita balik saja ke ruanganku. Lagian aku hanya perlu duduk diam sambil menerima bimbinganmu." Lingka melangkah menuju pintu keluar kafe, "aku sudah kenyang."

"Tapi kita bahkan belum menelan segigitpun croissantnya—"

Lingka menggerakkan bola matanya liar, menatap Prabu dan menu makanan yang terhidang secara bergantian, "habiskan saja olehmu jika kau mau, aku menunggu di mobil."

Prabu mematung. Sadar diri kalau Lingka bukan teman akrabnya yang bisa ia ajak untuk negosiasi soal makanan yang telah dipesan dan dibayar namun tak sempat dimakan. "Baiklah, kalau begitu mari kembali ke kantor."

Mereka berdua serentak berjalan menuju pintu keluar. Tapi tentu saja dengan Prabu yang tengah mengelap sudut bibirnya. Pria berbadan tegap itu sempat-sempatnya menyesap seteguk-dua teguk latte yang ia pesan. Lalu buru-buru menyusul Lingka setelahnya.

"Apa sebaiknya kita melaporkan kejadian ini pada atasan pramusaji itu?" Prabu membenarkan kancing jasnya. "Saya rasa tindakannya yang sembrono hingga membuat celanamu basah lalu pergi tanpa bertanggung jawab perlu didisiplinkan."

"Apa untungnya buatku jika aku melaporkannya? Apa celanaku akan mendadak kering kembali?"

Prabu menghela napas panjang, "Tentu saja itu tidak akan kering kembali. Tapi kalau saya jadi kamu, saya pasti sudah melaporkannya."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kita Yang Tak Boleh MenyerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang