D-20 : Lucius The Gladiator

128 38 8
                                    

   
Sinar pagi memasuki jendela kecil di kamar barak. Lucius Raecius mendapati kawan sesama Gladiator, Antonius masih tertidur di hadapannya. Di antara kedua ranjang kayu mereka terdapat sebuah meja dengan 2 gelas tanah liat yang berisi anggur. Dan juga ada dua dadu dan gelas untuk mengocoknya. Botol besar tanah liat berisi anggur (Amphora) diletakkan di samping meja. Antonius kalah cukup telak tadi malam dalam permainan dadu, terbukti dia masih tertidur karena mabuk sampai sekarang.

Lucius bergerak menuju ambalan kayu tempat dia mendudukkan lampu minyak dari tanah liat. Menutup lubang sumbu dengan jemarinya sampai lampu itu mati. Lalu bergerak mematikan lampu yang lainnya. Membuka pintu besar, akses masuk satu-satunya. Luapan sinar matahari membanjiri kamar tidurnya, diikuti dengan pemandangan yang belasan tahun telah dia lihat.

Para gladiator berlatih di tengah lapangan yang dikelilingi kamar para gladiator. Teriakan para gadis dan anak-anak mulai terdengar dari pinggir lapangan. Tepatnya lorong dengan kolom-kolom, kuda-kuda kayu dan genteng tanah liat yang dibangun untuk memayungi mereka, para fans atau orang yang sekedar penasaran.

"Aaaaaa ... Lucius!!" Teriakan para wanita terdengar. Mereka telah menunggu cukup lama, menantikan Lucius sang idola keluar dari kamarnya.

Lucius mengulurkan tangannya menyapa dan jeritan mereka makin histeris. Jeritan itu menjadi semangat. Bukan hanya untuk Lucius tapi juga para Gladiator yang sudah dari sebelum matahari terbit, berlatih. Mereka bukan hanya berlatih demi nyawa mereka. Akan tetapi juga demi popularitas, uang dan status. Keluar dari perbudakan.

Lucius melihat gladiator lainnya bukan sebagai saingan. Melainkan cerminan diri ketika dia masih muda dan miskin. Kemiskinan membuatnya tidak bisa mendapatkan pendidikan dan pelatihan. Dulu saat masih kecil, kadang dia berharap menjadi budak saja. Makanan untuk para budak terjamin, di lain pihak budak bisa belajar dari tuannya, belajar membuat roti atau membuat mozaik. Tapi mungkin sudah jalan hidupnya dia menjadi gladiator. Dia beruntung masih terus hidup, terus menang dan rajin menabung untuk pensiun di rumah impiannya yang terletak tak jauh dari kebun anggur milik Julia Felix, seorang wanita kaya pemilik properti yang luas di sekitar Amphiteater.

Para gadis mulai mendekati Lucius, ingin memberinya cincin atau manik-manik. Lucius menolak mereka secara halus dengan alasan tidak membawa tas. Padahal yang sebenarnya adalah mengantisipasi barang itu diisi mantra pemikat atau penarik kesialan.

Lokasi rumah masa depannya tak terlalu jauh dari Barak. Hari itu tidak ada pertandingan jadi jalan di depan Amphiteater masih sepi. Sesekali terdengar auman singa yang baru didatangkan dari Asia. Malang, kematian adalah hal yang pasti bagi singa-singa itu.

Lucius melewati hamparan kebun anggur. Dari jauh dia dapat mencium aroma anggur yang manis. Anak-anak budak menginjak-injak anggur yang telah dipanen. Sarinya mengalir jauh terpapar udara dan sinar matahari sampai ke bak penampungan. Lalu para orangtua mereka menempatkan sari anggur itu di dalam kendi-kendi tanah liat, mengisinya dengan ragi dan daun rempah kering lalu menutupnya sampai musim berikutnya.

Dia dapat melihat rumahnya dari jauh. Batu bata telah tersusun menjadi cublicle (kamar) dan ruangan lainnya. Terlihat budak sedang memasang genteng tanah liat di atas usuk (rangka kayu). Lucius mendekati seseorang yang sedang memegang gulungan papyrus, yang sepertinya tergambar denah rumahnya.

"Pagi Ectorius. Pagi-pagi kau sudah disini. Apa saya yang kesiangan?" Lucius tertawa sopan.

"Santai saja pak Lucius. Hari ini Anda tidak bertanding bukan? Sepertinya Anda menikmati malam Anda?" Ectorius tersenyum lebar.

City of Ash (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang